(Jay pov)
Beberapa hari setelah pernikahan Mas Yudish, gue sama Juna memutuskan buat jalan-jalan naik gunung yang ada di sekitar Jogja.
"Sekalian bikin vlog yuk" ajak Juna.
"Emang lu punya kamera?"
"Pinjem sama si Tata"
"Oh oke"
Dan begitulah kita pun naik gunung berdua sambil merekamnya.
.
."Si Tata jadi kuliah di Jakarta?" tanya gue saat kami tiba di puncak gunung. Kita duduk berdua sambil melihat pemandangan di depan.
"Jadi kayaknya. Ntar kita cariin kosan yang bagus yang deket kosan kita"
"Oh iya"
"Em.... Jay, gue mau ngomong sesuatu sama lu" ucap Juna.
"Ngomong apa?"
"Tentang hubungan kita"
Gue melirik padanya. "Hubungan kita kenapa?"
Juna menggigit bibirnya sebelum menjawab. "Gue... Gue ga pengen selamanya menjalin hubungan ini"
Hening beberapa saat. Gue terlalu terkejut dengan pernyataannya yang terlalu tiba-tiba.
"Jun? Gue ada salah sama lu beb?"
"Ga... Bukan gitu" Juna duduk berselonjor dan menyimpan kameranya.
"Lalu? Ada cowok lain iya? Siapa? Wah... "
"Ga gitu yank. Beneran. Bukan itu"
"Terus? Lu kesambet jin iprit di gunung ini?" gue melihat berkeliling dan mulai baca-baca.
"Jay! Gue serius!"
"Ya maksud lu apa sih? Gue ga ngerti!"
"Y-ya... Gue ga mau selamanya belok! Gue suatu saat pengen tobat! Lurus lagi... Nikah ma cewek. Kayak mas Yudish dan manusia normal pada umumnya..."
Gue menatap Juna lalu menggelengkan kepala gue ga percaya. "This is bullshit"
Gue berdiri dan beranjak. Tapi Juna meraih lengan gue. "Bro kita belum selesai ngomong"
"Apalagi?" gue mendekap tangan gue di dada dan menatapnya tajam.
"8 tahun. Gue kasih waktu 8 tahun. Habis itu... Gue... Gue berencana mau nikah di umur 30an Saat gue udah mapan. Dan gue harap elu juga"
"But why Juna? Cinta gue ke elu ga cukup buat lu?" tanya gue sinis.
"Bro... Kita harus realistis. Kita ga bisa kayak gini selamanya! Dunia ga akan nerima kita!"
"Jadi menurut elu perasaan gue ke elu ga realistis? Iya?!" gue mendorong dadanya kesal. Emosi gue mulai memuncak sampai ke ubun-ubun.
"Jay please! Lu ga baca komen-komen orang tentang kaum gay kayak kita? Itu baru di internet. Di dunia nyata bakal lebih ngeri lagi. Come on Jay... Be real"
"Peduli setan jink! Hidup gue, gue yang ngatur, bukan orang lain! Oh... Come on Arjuna. Gue kira lu strong! Ternyata lu pengecut? Lu takut sama omongan orang?! What the fuck beb?!"
"IYA GUE TAKUT! GUE GA BISA MELAWAN SEMUA ORANG!" Juna berseru frustasi.
"KALAU GITU BIAR GUE YANG MELAWAN SEMUA ORANG ITU BUAT ELU!!" gue balas berteriak lebih keras padanya.
Sumpah si Juna kerasukan apa sih?! Heran gue. Ga ada hujan ga ada angin tiba-tiba kayak gini.
"Lu ga bisa ngelakuin itu Jay. Ga bisa... " Juna jatuh terduduk dan mengusap wajahnya.
"Enteng banget lu bilang mau melawan semua orang. Termasuk ibu gue? Iya?!"
Seperti ada air dingin disiramkan ke kepala gue yang panas. Perlahan gue duduk di sebelahnya.
"Ibu... Ngomong apa?"
"Gapapa. Cuman.. Dia nitipin Tata sama gue dan... Yeah. Ibu sedikit khawatir karena gue kan ga pernah terlihat dekat sama perempuan. Dari dulu. Beda sama mas Yudish yang sejak SMP aja udah punya pacar. Jadi ibu nanya... Tapi gue jawab gapapa. Gue bilang, suatu saat jika gue udah mapan... Gue... Gue juga bakal nikah kok"
Gue diam. Speechless. Ga tau mau ngomong apa.
"8 tahun. Sampai kita umur 30. Oke?"
"Terus abis itu kita putus gitu?"
"Hey... We are best friend forever. Brother for life... Our friendship forever" Juna meraih bahu gue.
"Bullshit" gue melepaskan diri dari dirinya jengah.
"Hey ayolah. 8 tahun itu lama kok. Kita.. Nikmati waktu yang tersisa ini sama-sama yah"
"......."
"Ayank?"
"......."
.
..
.Gue ga banyak bicara sampai akhirnya kita turun gunung. Juna membiarkan saja dan tidak mendesak gue lebih jauh.
Makan malam terasa lebih rame dengan istri Mas Yudish Mbak Arin yang ternyata pintar memasak. Tapi entahlah. Mendadak gue kehilangan selera makan gue.
"Nak Jusuf ndak dihabiskan makannya?" tanya ibu. Gue memaksakan tersenyum dan mengangguk sopan padanya. "Jusuf sudah kenyang, ibu"
"Oh begitu. Oh ya kalian habis naik gunung yah, pasti kecapean yah? Yasudah istirahat sana le. Arjuna, kamu juga"
"Inggih Bu, terima kasih"
Gue bangkit dari kursi dan pamitan untuk tidur duluan pada keluarga Juna yang lain. Juna mengikuti langkah gue hingga masuk kamar.
Cklek.
Ia mengunci pintu kamarnya dan gue langsung ganti baju dengan celana kolor dan kaos yang tipis yang nyaman untuk tidur.
"Yank... "
"......."
Gue beranjak naik ke tempat tidur dan memunggunginya. Lagi males ngomong gue. Dan ga tau juga gue mau ngomong apaan.
Juna tidak memaksa lebih jauh. Gue bisa merasakan dia ganti baju lalu naik ke kasur di sebelah gue.
Lama sesudahnya gue masih ga bisa tidur.
Dengkuran halus terdengar dari sebelah gue pertanda Juna sudah tertidur. Gue berbalik dan menatap wajahnya.
Dia tampak begitu manis dan innocent saat terlelap.
Perlahan gue membelai rambutnya yang halus lalu mendekat untuk mencium keningnya.
Perasaan gue campur aduk.
.
.TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
✔️ Jay & Juna
Художественная прозаJusuf Habibie, cowok manis berkulit putih bersih asal Bandung, memulai hari barunya sebagai mahasiswa Unpaj Jakarta dengan penuh harapan. Namun tak disangka hari-harinya menjadi lebih berwarna karena kehadiran sosok teman sekelompoknya, cowok macho...