"Kenapa nggak pamit? Lupa kalau sudah punya suami dan bukan lagi remaja lajang? Lebih memilih diantar sama Fezral daripada suaminya sendiri?" _Azhar
----------------
Vani berjalan masuk ke ndalem dengan membawa piala, piagam, boneka tangan marsya dan senyum nya yang mengembang sempurna.
Vani tak bisa membayangkan bagaimana tanggapan dari suaminya. Juga respon ummah dan neng Najwa juga. Apakah akan sesenang mama dan papanya saat tadi dikabari lewat video call.
Sedangkan Dhirga seperti biasanya. Jangan mengharap akan dikasih hadiah atau sekedar ucapan selamat, bahkan merespon saja tidak. Mungkin menurut nya ini hal yang biasa karena Dhirga juga sering mengikuti perlombaan dalam berbagai bidang dan hampir semua di menangkan.
Saking semangatnya, Vani langsung masuk ndalem tanpa mengetuk pintu dan mengucap salam. Seperti nya kebiasaan nya di rumah ikut kesini karena sedang senang.
Segala rasa senang dan senyum yang sedari tadi terpasang di wajahnya luntur seketika melihat orang yang sedang bercengkrama hangat di ruang tamu ndalem. Suaminya dan mantan kekasih nya.
Posisi gus Azhar yang memang membelakangi pintu menjadi tidak menyadari kehadiran Vani, tapi tidak dengan Syeihqila, dia melihat Vani yang terpaku di depan pintu.
Bukan nya sadar diri, gadis itu malah menggeser duduknya menjadi lebih dekat dengan gus Azhar.
Syeihqila memegang tangan gus Azhar lalu mengucapkan kalimat yang semakin membuat Vani muak. Dan lebih menyesakkan lagi karena gus Azhar tidak melakukan apapun, tidak menghindar dan hanya diam.
Vani yang sudah tidak tahan melihat pemandangan itu langsung pergi keluar dan masuk ndalem lagi lewat pintu samping. Langsung menuju kamarnya tanpa perlu melewati dia insan yang entah kini sedang melakukan apa.
Vani menutup pintu kamar, menguncinya. Meletakkan piagam dan piala yang baru saja didapatkan di atas nakas. Menangis telungkup di atas ranjang dengan boneka tangan di pelukan nya.
Sore hari nya saat gus Azhar masuk kamar Vani hanya diam. Vani tidak perlu bersusah payah menghapus jejak air mata dan menyamarkan mata sebabnya karena gus Azhar juga tidak memperhatikan. Saat akan mengambil handphone yang terletak di atas nakas, gus Azhar melihat piala dan piagam di sana.
"Kamu menang?" Tanya gus Azhar pada Vani, Vani mengangguk tanpa menengok, terlalu malas melihat wajah yang tadi siang bercengkrama dengan mantan kekasihnya.
"Selamat ya" gus Azhar mengacak pelan rambut Vani dan berlalu pergi ke luar kamar. Lagi, Vani hanya bisa menangis.
"Kenapa jadi seperti ini?" Tanya Vani entah pada siapa di sela sela tangisannya.
Vani berjalan ke arah rak buku nya. Mengambil salah satu buku dengan asal dan menyobek lembar yang masih kosong. Dan menulis disana.
-_-
Gus, Vani pulang ya. Kangen mama sama papa di rumah, sama Dhirga juga. Maaf ya nggak bisa bicara langsung. Vani pergi.
-_-
Vani meletakkan kertas itu diatas nakas, disamping piala dan piagamnya. Mengambil handphone dan mengirim pesan ke kang Fezral.
~_~
"Assalamu'alaikum, kang"
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, pripun, neng?"
"Bisa antar saya tidak, kang?"
"Kemana?"
"Rumah mama sama papa"
"Siap, neng. Sebentar lagi"
KAMU SEDANG MEMBACA
He Is mine (END, Segera Terbit)
Teen Fictiontentang Alvania yang tidak pernah menduga akan apa yang terjadi pada hidup nya ini cerita berlatar pesantren dan kehidupan santri peringkat yang pernah diraih # 1 dalam jurusan