Dorr!!
Jiyong menembak tepat ditengah-tengah antara istrinya dan Jungkook.
"Kenapa kalian berdua tidak saling membunuh satu sama lain?" Usul Jiyong.
"Ide bagus." Ujar Sandara mendelik menatap Jungkook.
Dari pertama Jungkook gabung bersama Yakuza, Sandara adalah musuh utama di dalam Yakuza. Wanita itu selalu melatih kecekatan fisik Jungkook dimanapun dan kapanpun , bahkan waktu itu hampir saja Sandara memecahkan kepala Jungkook dengan pisau yang tiba-tiba melayang.
"Untuk apa kau kesini, sayang?'' Tanya Jiyong menatap lembut sang istri.
"Niat awalnya aku bosan di rumah, tapi sekarang niat aku berubah, aku ingin menghabisi dia dan akan aku bakar mayatnya!" Ujar Sandara sambil menatap Jungkook, mereka memang musuh tapi percayalah dia sangat menyayanginya.
Sedangkan Jiyong hanya menggelengkan kepalanya, sudah berapa tahun istrinya dan Jungkook tidak pernah akur. Mungkin jika dirinya tak berada di tengah-tengah, mereka sudah saling membunuh.
"Kau akan menyesal melepas gadis itu. Percaya denganku!" ucap Sandara yakin. Ia yakin dari sorot mata Jungkook saja terlihat bahwa pria itu masih mencintai Jiyeon.
Sedangkan Jungkook yang tak ambil pusing, ia lebih memilih untuk nenatap Jiyong yang tengah bersedekap dada.'' Dimana Leo dan Zico?"
"Di Black Room."
Jungkook beranjak dari sana dan meninggalkan Sandara dan Jiyong. Ia tak ingin berada di tengah_tengah mereka berdua.
Ceklekkk...
Jungkook menyerngit binggung saat membuka pintu tanpa di gembok, tak biasanya Jiyong membuka ruangan hitam tanpa diberi keamanan ketat.
mendapat firasat aneh, Jungkook melangkah lebih jauh untuk memasuki ruangan tersebut. Dan selanjutnya? kedua kursi di tengah ruangan tersebut tak terlihat Zico maupun Leo, hanya seutas tali yang bertengger di tempat duduk itu.
Jungkook langsung berlari untuk menemui Jiyong, ia mendobrak pintu ruangan Jiyong dengan kencang membuat suara debuman menggema sepanjang lorong gelap.
"Dimana Leo dan Zico?!" Tanya Jungkook dengan nafas terengah-enggah.
Jiyong menyerngit.'' Bukankah sudah kukatakan, mereka dk ru....''
"Tidak ada!" Elak Jungkook cepat.
Aneh, ini aneh. Jiyong sudah menjamin mereka berdua tidak akan lolos dari markas Yakuza yang penjagaannya begitu ketat, terlebih dengan Zico dan Leo yang wajah sudah di cap akan mati hari ini di tangan Jungkook, mereka tidak akan bisa keluar dari markas Yakuza kecuali ada seseorang yang membantunya.
Jiyong menatap Jungkook, sepertinya mereka satu pikkran. Mereka tau siapa yang meloloskan Zico dan Leo dari markas Yakuza.
Sandara menyipitkan matanya menatapa Jungkook dan suaminya yang tengah bertatap-tatapan.
"K..kalian tidak saling suka kan?'' Celetuk Sandara membuyarkan suasana.
Jiyong menghela nafas,'' Pulanglah sayang, di sini berbahaya untukmu.''
Sandara melotot,'' Kau berbicara tentang bahaya padaku?! kau lupa dari 100 kali Yakuza perang 50% aku yang menghabisi musuh kalian!"
Jiyong hanya mengiyakan daripada bertengkar dan melibatkan ribuan pisau melayang, lebih baik dirinya mengalah karena ia masih memegang prinsip teguh bahwa perempuan selalu benar.
...
Suasana diakhir bulan April ini, London memasuki musim semi dimana-mana pohon mulai terlihat menghijau dan bunga-bunga ditaman sudah mulai bermekaran. Jiyeon menuruni undakan tangga lalu menuju dapur, mengambil segelas air putih untuk menghilangkan rasa haus.
Sudah tiga hari Jiyeon meninggal Jungkook, rasa itu seperti tak mau hilang, bahkan terasa sangat membelenggu dirinya sendiri. Jiyeon berusaha untuk melupakan, namun justru ia malah merindu.
Ada sakit yang luar biasa saat dirinya menyadari bahwa semua takkan lagi sama, dan hanya bisa diam lalu mengharapkan semua berjalan seperti sebelum-belumnya. Kenangan bersama Jungkook tidak benar-benar hilang, ia hanya sembunyi di sudut yang tidak diketahui. Mencoba menghilangkan, tapi air mata tak kuasa menahan.
Jiyeon menuju taman belakang rumah, ia duduk disebelah bangku tepat dibawah pohon rindang. Jiyeon menikmati kesunyian, dan tak sadar sebulir air mata turun tanpa persetujuan pemilik mata. Kini, hati yang berbicara.
''Dikirain kemana, taunya sedang menangis.''
Sebuah suara yang membuyarkan suasana. Jiyeon menolehkan kepalanya kesamping kiri, dimana ia mendapati sosok laki-laki yang sudah menemaninya selama tiga hari ini berdiri tepat dihadapannya. Sosok itu adalah Kim Chanyeol pewaris tunggal dari keluarga Kim.
''Tidak, siapa juga yang menangis.'' Ujar Jiyeon mengelak, dengan segera ia menghapus air mata yang membasahi pipinya.
Chanyeol terkekeh pelan, pria itu membimbing Jiyeon untuk berdiri dihadapannya, menarik pinggang gadis itu agar lebih mendekat. Chanyeol mengangkat dagu Jiyeon agar bisa melihat iris mata cantik yang sedang menangis seseorang.
''Hei, lihat mataku. Dunia tidak boleh tahu bahwa kau sedang babak belur, dunia hanya boleh tahu kau masih berdiri tegak dan tak hancur selepas badai menerjang. Jangan menangis, besok berjuang lagi.'' Chanyeol mengecup kedua mata Jiyeon yang sembab. Ia takkan membiarkan air mata itu mengalir, sesak rasanya melihat gadis yang dicintainya tersiksa oleh laki-laki lain.
Pertahanan Jiyeon luruh seketika.'' Tidak ada lagi yang harus diperjuangkan, Chanyeol. Jungkook sudah tidak menyayangiku.'' Jiyeon memukul dada Chanyeol dengan brutal, ia menangis histeris.
Chanyeol menahan kedua tangan Jiyeon.'' Hei, yang bikin segala sesuatu berat itu pikiranmu sendiri, Jiyeon. Belum dijalanin tapi kau sudah mengira-ngira apa yang bakalan terjadi.'' Chanyeol mengecup kedua tangan Jiyeon lembut, ia memohon dalam hati agar Jiyeon cepat diberikan kebahagiaan. Dirinya tidak bisa melihat gadis yang dicintainya terluka begitu jauh.