Part 3. Cinta Rasul

298 45 34
                                    

Rumah bernuansa joglo dengan perpaduan sentuhan aksen minimalis di beberapa ruang tambahan, menjadi tujuan Sheryl malam itu.

Sebenarnya dia agak malas untuk bertandang ke rumah sang kakek jika sepupunya yang lain juga ada di sana.

"Woh, artis. Masih pake motor aja. Duit endorse lu nggak cukup buat beli mobil apa?"

"Dipake beli bubuk pasti."

Sheryl yang tengah memeluk bantal sembari menikmati es krim buatan sang ibu hanya meringis.

"Kalian ini kerjaannya, kalau nggak nyerang Mbak Sahla. Pasti nyindir aku. Makasih loh ya, udah transfer pahala. Gunjing aja terus, gibah aja terus," jawab Sheryl santai.

Tak sedikitpun dara itu peduli. Dia tidak marah, tidak benci, hanya tidak peduli. Dua puluh dua tahun, dia hidup di lingkungan keluarga besar ayahnya yang toxic. Membuat mentalnya menjadi kuat.

"Wah, sok-sokan bawa pahala. Kek punya agama aja lu."

Sheryl beranjak dari kursi, membuat empat kakak sepupunya tertawa karena merasa menang. Tapi, tak lama dia kembali. Menunjukkam kartu berwarna biru pada Wisnu, sepupu yang selalu menyindirnya.

"Nih, baca. Agama, I-S-L-A-M. Islam. Punya kan gue?"

Sheryl kemudian kembali memasukkan lagi kartu tanda penduduknya ke dalam dompet.

"KTP doang bangga," decih Wisnu yang merasa kesal karena Sheryl ternyata tak gentar menghadapinya.

Berbeda dengan Sahla yang akan menunduk diam dan menangis, Sheryl dengan tegas mengonfrontasi mereka. Selama ia benar, Sheryl tak pernah takut pada apapun.

"Setidaknya alhamdulillah aku punya agama. Aku punya Tuhan. Aku punya Rasul."

"Sama aja lu nggak pernah ibadah. Percuma agama KTP lu," ledek adik Wisnu yang sebenarnya masih pelajar SMA.

"Wanda, bocil terhormat. Dengerin adik sepupu yang lebih tua dari lu ini. Setau gue, sekalipun lu berjilbab kayak gitu, tapi kalau kelakuanlu kaya ibab. Sama aja. Lu nggak bakal dapat pahala. Masih kecil udah julid. Besok gede mau jadi apa lu?"

Mata Wanda berkaca-kaca dan mengadu pada sang kakak. Wisnu emosi dan melempar garpu di depannya ke wajah Sheryl. Sambaran garpu menggores pipi sang dara.

Pertengkaran anak muda itu terjadi di ruang tengah. Beruntung para orang tua tengah serius berbincang di ruang tamu. Keempat tersangka pembullyan segera melarikan diri.

Empat bersaudara itu berpamitan pergi. Pastilah mereka takut Sheryl buka mulut.

"Kesayangannya Eyang udah datang, jadi kami mending pulang. Toh kami nggak pernah dianggep," sindir Wisnu kini pada sosok Sahla yang baru datang dan berada di teras samping bersama sang kakek.

Sheryl melihat drama itu. Sosok sepupunya tertunduk. Dia tahu Sahla tengah menahan tangis karena serangan verbal sepupu mereka. Dengan langkah gontai Sahla masuk ke dalam rumah.

"Mbak Sa, ini ada eskrim, mau nggak?” tawar Sherly.

“Makasih, Sher. Aku ngantuk, mau tidur duluan.”

Sahla berbohong, tentu. Acara kumpul keluarga bukanlah hal yang ia sukai. Bukannya dia membenci keluarganya, dia hanya bosan dengan pembicaraan kedua orang tuanya mengenai diri Sahla.

Hal yang sama juga dirasakan Sherly, tapi dengan alasan berbeda. Jika Sahla dibenci karena terlalu menurut dan pintar. Sedangkan Sheryl sebaliknya. Dia tidak disukai karena dianggap bodoh dan hanya jual kecantikan saja. Mereka selalu menggosipkan Sheryl memakai barang haram, menjadi simpanan orang, hingga pelaku prostitusi online. Semua itu karena profesi sambilan Sheryl sebagai selebgram.

HADRAH in LOVE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang