Suara merdu mengalun dengan iringan gitar di tangan si pendendang. Netra sipit bermonolid itu menangkap sosok pemuda yang tengah memarkirkan sepedanya di area parkir khusus pegawai kafe. Pemuda kurus dengan celana kain dan kaos panjang tersebut mengedarkan pandang, hingga senyumnya terkembang ketika melihat si sipit melambaikan tangan.
“Adzkar!” panggil Kevin.
“Koh.” Pemuda tadi mengulurkan tangan dan dijabat oleh Kevin.
“Kamu naik sepeda dari rumah? Bukannya rumahmu di kota gede?”
Pertanyaan itu dijawab anggukan dan senyum. “Iya, itu armada namanya. Armada saya satu-satunya.”
Kevin mengernyit, jujur saja dia sedikit heran dengan sosok yang baru dikenalnya empat hari lalu.
“Kamu nggak punya motor?”
Si lawan bicara menggeleng. “Nggak punya, Koh.”
“Nomor hapemu berapa? Aku mau telpon kamu nggak tahu nomernya.”
Lagi-lagi gelengan ia dapat. “Nggak punya, Koh. Tapi kalau telepon rumah ada.”
“Nggak punya hape?”
“Iya, nggak punya.”
Kevin menatap pemuda itu lekat, membuat yang ditatap meringis.
“Kenapa Koh?” tanyanya dengan wajah lugu.
“Heran aja, jaman sekarang ada orang nggak punya hape.” Kevin jujur mengemukakan pemikirannya.
“Belum ada rejeki lebih untuk beli, Koh. Ini yang lain kemana? Katanya mau latihan?”
“Nah, itu dia. Aku mau ngabari kamu kalau latihannya diundur sejam, tapi nggak tahu harus telpon kemana.”
“Oh gitu. Misal Koh Kevin mau hubungi aku ke nomer ini aja.”
Pemuda tadi menyerahkan secarik kertas yang ia keluarkan dari tasnya. Kevin menerima kartu nama atas nama, KH. Qasim Malik Ibrahim. Keningnya berkerut.
“Itu kartu nama simbah. Aku tinggal sama simbah, Koh.”
Kevin mengangguk-angguk. “Orang tuamu tinggal di Jogja juga?”
Pemuda tadi tersenyum. “Insyaallah, sekarang mereka sudah bahagia di sisi Allah,”
“Oh, i’m sorry. Aku nggak tahu, sorry.”
“Santai, Koh. Santai. Sudah takdirnya begitu.”
“Kev, bantuin bentar dong. Rame banget nih, mana banyak yang ijin hari ini.”
Sosok cantik berusia tiga puluh tahun muncul dan meminta bantuan adiknya.
“Boleh saya ikut bantuin?” tanya pemuda lugu tadi.
Si wanita cantik menatap rekan adiknya. “Boleh Mas, boleh banget. Nanti fee-nya ada kok. Tenang.”
“Saya cuman mau bantu, Ci bukan mau kerja,” jawab pemuda itu tulus.
“Siapa namanya?”
“Adzkar, panggil aja Az.”
Wanita berkulit putih dengan tubuh berperawakan molek itu tersenyum senang. “Oke Mas Az, tolong ya.”
“Iya Ci.”
“Serius mau bantuin?”
“Iya Koh, dari pada gabut. Insyaallah saya bisa bantu apa aja kok.”
Pemuda itu kemudian mengekor Katarina, si pemilik kafe yang juga merupakan kakak dari Kevin.
“Jaman sekarang, kenapa ada cowok selugu dia? Apa bener dia nggak punya hape?”
KAMU SEDANG MEMBACA
HADRAH in LOVE (END)
Romance"Hadrah itu apa?" "Hadrah itu akronim." "Akronim?" "H-Harusku A-Akui D-Diriku R-Rindu A-Akan H-Hadirmu" "Apa? Ini pasti kamu buat-buat kan?" "Iya sih. Tapi, Semua umat muslim pasti selalu Rindu pada Rasulullah kan? Berharap syafaat Baginda Rasul di...