38. Bab Ikhlas

302 46 8
                                    

Azmi terkulai lemah di lantai, masih belum ada kejelasam tentang istrinya. Di saat yang bersamaan, tiga orang santri suruhan pamannya datang.

"Assalamualaikum, Gus."

Azmi mendongak dan mengusap wajahnya.

"Wa alaikumussalaam warahmatullah."

"Gus, ada apa?" tanya salah satu diantaranya.

"Ummi Sheryl baik-baik saja kan?" lanjut yang lain.

Azmi mengangguk, meski pikirannya kacau tapi dia tetap menyambut tamunya.

"Ada apa?" tanya Azmi kemudian setelah menerima salam ketiga santri.

"Habib dapat musibah, sakit. Harus dikarantina, sedang sang ibu meninggal."

"Innalillahi wa innailahi rojiun."

"Beliau menitipkan pesan pada Ustadz Syam, kalau Gus Azmi diminta menggantikan beliau tausiyah dalam rangkaian tour dakwah beliau selama tiga minggu ke depan. Bersama dengan Gus Ubay dan Gus Ukasya. Malam ini juga, rencananya selepas melayat rombongan langsung berangkat ke Semarang."

Seketika hati Azmi bimbang. Ia tidak mungkin meninggalkan Sheryl dalam kondisi seperti itu. Namun, di sisi lain, permintaan sang guru harus dan wajib ia laksanakan, sebagai bentuk ta'dzimnya sebagai murid pada sang guru.

Banyak orang menginginkan posisinya sekarang, ditunjuk menjadi tangan kanan sang Habib. Namun, tak semudah itu Azmi menerimanya.

"Azmi, pergilah. Berdakwah lah. Itu kewajiban utamamu. Itu tugas utamamu. Ayah yakin, ketika kamu menyiarkan agama Allah, maka Allah tak akan tinggal diam. Tak akan pernah kalah dari hamba-Nya. Allah akan menjaga Sheryl untukmu. Ayah yakin. Mintakan pada jamaah di majelis nanti, doa untuk Sheryl, istrimu. Pergilah."

Sulthon meyakinkan Azmi. Pria itu kemudian menatap sang ibu mertua, dan Rani mengangguk.

"Pergilah. Tunaikan tugasmu. Allah akan menjaga istrimu. Bunda yakin," ucap Rani sembari tersenyum meski air mata membasahi pipinya.

Restu dari kedua orang tuanya membuat Azmi akhirnya bertekad pergi. Beberapa perawat mengabarkan jika Sheryl sudah kembali tenang dan sedang dalam pengaruh obat.

"Tunggu sebentar ya, aku pamit istriku dulu."

Ucapan Azmi dijawab dengan kompak oleh ketiga orang di sana. Pria tadi kemudian masuk ke dalam ruang rawat sang istri. Ada dua botol infus kini tergantung di sana. Salah seorang perawat menjelaskan pada Rani tentang hal-hal yang perlu diperhatikan jika terjadi sesuatu pada Sheryl.

"Sayang, Dek. Mas dapat tugas menggantikan Buya tausiyah. Mas pergi dulu ya? Kamu baik-baik di sini. Nanti Mas telpon ya tiap jam. Kalau kamu kangen kamu boleh kok nyusul Mas. Cantikku, bonekaku, dedek chelilku, Mas sayang sama kamu. Tapi Allah lebih sayang sama kamu. Jadi, meski kamu nyaman kalau ada Mas di sampingmu, kamu juga harus lebih nyaman jika bersama Tuhanmu. Allah. Karena hanya Allah yang tak pernah pergi dari kita, dan tak pernah membiarkan sedikitpun kita sendirian. Allah akan selalu menjagamu."

Azmi mengelus pipi Sheryl dengan sangat pelan, seolah takut jika boneka cantiknya akan tersakiti. Ada sebuah dorongan yang membuat Azmi ingin mengecup wajah yang kini tak lagi bengkak itu.

Dia berhenti saat bibirnya hampir meyentuh kening Sheryl. Seketika ia menoleh pada ayah mertuanya yang ternyata memperhatikan gerak-geriknya.

"Yah, boleh nggak kalau Azmi ngecup Dek Sheryl?" tanyanya meminta ijin.

Sulthon tertawa disela tangisnya.

"Dia milikmu. Dia punyamu. Itu hakmu. Ambil hakmu. Silakan. Ayah tidak akan dan tidak berhak melarang."

HADRAH in LOVE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang