Part 37. Ingin pulang

282 47 46
                                    

"Az, kapan kamu mau mulai ikut dakwah lagi? Banyak orang yang nanyain."

Sheryl yang masih terbujur lemah di ranjang. Meski sudah seminggu ini ia sudah mulai sesekali belajar untuk miring ke kanan kiri. Mengikuti serangkaian proses fisioterapi dan pengobatan yang cukup melelahkan juga menyakitkan.

Telinga bertutup jilbab itu, mendengarkan dengan seksama percakapan sang suami dan orang asing yang datang.

"Belum kepikiran, Mas. Saya nggak bisa ninggalin istri saya."

"Kan banyak yang bantu jagain."

"Bukan masalah itu, Mas. Hati saya nggak tenang kalau jauh dari Dek Sheryl. Saya sangat bahagia akhirnya bisa menikahinya."

Sheryl memang tak membuka mata, tetapi dia tidak tidur.

"Az, kamu nggak nyesel sama pilihanmu?"

Pertanyaan itu mewakili perasaan Sheryl.

"Laki-laki boleh menikah lebih satu kali, Az. Lagi pula kondisi Sheryl seperti ini. Kamu pasti cuma nikahin dia karena kamu sudah terlanjur meminangnya kan?"

Sheryl membuka matanya sedikit, ia terkejut saat pria itu membanting pecinya.

"Mas Wisnu, saya sangat menghargai Mas. Terima kasih sudah datang menjenguk istri saya. Tapi mohon maaf, saya sangat tersinggung dengan kata-kata Mas Wisnu tadi."

Sheryl dapat mendengr getar di suara suaminya. Seolah Azmi dengan sekuat tenaga menahan diri untuk tidak marah.

"Saya, menikahi Sheryl karena rasa cinta saya pada dia, yang berdasar kekaguman saya atas ketaqwaannya pada Allah. Apapun kondisinya, saya menerimanya dengan senang hati. Karena dia pun menerima saya juga, apa adanya saya. Saya sangat bahagia bisa menikahi wanita pujaan hati saya, dengan restu orang tuanya, dengan restu guru spiritual saya, dengan restu kakek nenek saya, dan keluarga besar kami. Bagian mana yang harus saya sesali?"

"Memang benar, diperbolehkan beristri empat. Tapi, saya sudah mengucap ikrar, mengguncang tiang Arsy dengan qobul yang saya ucap. Ini masalah janji saya pada Tuhan saya. Pada wanita inilah saya menjatuhkan pilihan, dan pada wanita inilah Allah menjodohkan saya. Cukup."

Wisnu, sepupu Sheryl, terdiam sejenak.

"Az, laki-laki punya hasrat yang harus disalurkan. Jangan munafik soal itu."

Suara Azmi meninggi seketika. "Saya, dibesarkan di lingkungan beradab! Syahwat memang semua orang punya, tapi saya bukan laki-laki pemuja selangkangan! Saya berpegangan pada Iman! Pada jalan Tuhan! Meskipun Dek Sheryl tak sempurna, bukan berarti dia tak bisa membuat saya bahagia! Bahkan, hanya dengan menatapnya saat tertidur nyenyak saja, itu sudah membuat saya tenang dan bahagia."

Wisnu berdecih. "Gila kamu, Az. Nggak normal kamu."

"Ya, memang saya gila. Dan saya menikmatinya. Kalau Mas Wisnu keberatan berbicara dengan orang gila ini, silakan angkat kaki dari sini. Dengan segala hormat, saya mohon, Mas tidak perlu datang ke sini lagi. Saya tidak mau istri saya terganggu istirahatnya."

Sejak tadi, Sulthon dan Rani berdiri di depan pintu. Mereka baru saja keluar untuk membeli makanan.

"Pergi kamu dari sini!"

Sulthon menarik kerah baju Wisnu.

"Yah, udah Yah. Ini rumah sakit," kata Rani mengingatkan sang suami.

Sementara itu Sheryl menangis. Dia terharu dengan jawaban suaminya tadi.

"Dek? Kenapa? Ada yang sakit?" tanya Azmi saat menyadari nafas Sheryl tersengal karena menangis.

HADRAH in LOVE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang