Part 41. Ujian Rumah Tangga

315 50 32
                                    

Hari demi hari berlalu, bahagia? Tentu iya. Namun, begitulah rumah tangga, pasti tak selamanya berjalan mulus.

"Bun, aku ngerti maksud Bunda sama Ayah itu baik. Tapi tolong Bun, jangan paksa kami ke sana. Toh aku juga nggak minta dibeliin rumah. Aku memang niat mau mengabdi sama suamiku, di sini. Bunda harusnya paham itu."

Isak terdengar disela kalimatnya. Ya, sudah beberapa hari terakhir, Sheryl dipaksa orang tuanya agar mau pindah ke rumah yang dibelikan orang tuanya sebagai kado pernikahan dua bulan lalu. Namun, Sheryl tak mau menerimanya. Bukannya tidak mau, tapi sekarang dunianya adalah Azmi.

Dia harus patuh dan taat pada suaminya. Meski harus tidur di kasur busa yang bahkan hanya seperempat tebal kasur yang ia gunakan selama hidup dengan orang tuanya. Setiap siang kepanasan, malam kedinginan. Merelakan tubuh mulusnya digigiti nyamuk setiap hari. Bahkan tak jarang semut mengerubunginya jika lalai sebentar saja membiarkan remah makanan atau tetesan minuman di lantai.

Tak ada ranjang, tak ada meja rias, tak ada kamar mandi di dalam kamar. Bahkan, tak ada air kran. Kadang, jika sanyonya bermasalah, ia harus menimba dengan tangan. Ya, itu menjadi kesehariannya sekarang.

Tak ada santan instan. Jika mau menggunakan santan, itu artinya dia harus mengupas kelapa, memarutnya dan memerasnya sendiri. Tak ada bumbu dapur instan. Lengkuas? Jahe? Kunyit? Temulawak? Kapulaga? Kencur? Harus ia tanam sendiri dan jika membutuhkan, maka ia harus mencarinya di kebun.

Berat? Tentu. Penat? Kadang. Sejujurnya, kadang terbersit kilatan setan yang membisikkan.

Andai dulu tetap bertahan dengan Kevin, pasti hidupnya tak perlu susah payah seperti ini. Bisa pergi ke cappadocia, beli penthouse 500 juta. Sedang dengan Azmi? Jangankan cappadocia, kapalan yang ada karena kerja rodi tiap hari. Penthouse 500 juta? Beli penthol 500 rupiah saja sayang uangnya.

"Bunda, doain Sheryl bahagia sama Mas Az. Sheryl cuma minta itu. Maafin Sheryl Bunda, Sheryl memilih jalan hidup Sheryl sendiri. Maaf Bunda."

Tangis Sheryl semakin menjadi. Ia terpaksa menutup telepon dari sang ibu secara sepihak. Wanita itu tak tahu jika ada orang yang mendengar pembicaraannya dari luar. Sheryl kira jika tiga orang yang tinggal serumah dengannya belum pulang dari majelis.

Nyai Halimah menatap nanar pada suaminya, sebelum melempar pandang pada sang cucu yang mematung di depan pintu kamar sembari membawa plastik berisi makanan pemberian panitia tempatnya bertausiyah tadi.

Semenjak memiliki istri, Azmi jarang memakan snack atau makanan suguhan panitia. Sekiranya ia bisa membawanya pulang, maka akan ia bawa untuk oleh-oleh istrinya.

Suara langkah kaki Sheryl terdengar dan Azmi seketika mengubah ekspresi wajahnya.

"Mas, udah pulang?"

Senyum terkembang di wajah cantik sang istri yang kini sudah benar-benar pulih.

"Assalamualaikum, Cantik."

Sheryl mencium tangan Azmi. "Wa alaikumussalaam. Banyak jamaahnya?"

Azmi mengangguk dan berucap hamdalah. Ia menyodorkan plastik di tangannya. Sheryl menerima dengan wajah berbinar, bak sedang diberi emas berlian. Padahal Sheryl hapal, isinya pasti pisang atau jeruk, roti, tahu atau martabak telur, kadang juga risoles.

Ada sedikit rasa sedih di hati sang pria mendapati istrinya begitu bahagia ia beri makanan pemberian panitia pengajian.

"Mas mau?" tawar Sheryl saat mengambil pisang dari dalam plastik.

Azmi menggeleng, ia menarik istrinya ke dalam pelukannya.

"Mas, kenapa?" tanya Sheryl.

Tak biasanya pria itu terdiam setelah pulang tausiyah. Biasanya ia akan bercerita mengenai keseruannya saat berdakwah, dan Sheryl akan mendengarkannya dengan seksama penuh antusias.

HADRAH in LOVE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang