Part 39. Rasa Rindu

301 44 22
                                    

Azan subuh terdengar, telinga Sheryl tergelitik seolah mendengar suara sang suami, ia membuka matanya. Bibirnya menjawab lafadz azan lengkap dengan doanya yang sempurna. Gadis itu menyibak selimutnya. Tak ada lagi selang kateter menyakiti tubuh bawahnya.
Hawa dingin memeluk kakinya seketika.

Alarm ponsel Sulthon membuat si empunya bangun. Setelah menggeliat beberapa kali, ia mengecup pipi istrinya yang masih terlelap.

"Sayang, jamaah subuh yuk."

Rani menggeliat, ia merangkulkan tangannya ke leher sang suami menahan pria itu agar tak beranjak dulu.

"Ngantuk," rengeknya.

"Eh, inget kata Azmi, mantu kesayanganmu. Jamaah subuh itu ringan tapi sulit untuk dilakukan. Jangan mau diselimuti setan. Ayo, wudu dulu."

Sulthon kembali mengecup pipi wanita yang memberinya dua bidadari itu

"Sheryl ikut jamaah."

Ucapan itu membuat kedua orang tuanya seketika menoleh.

"Ya Allah, Nak! Kamu ngapain di situ?"

"Laper," ucap Sheryl. Dia kini tengah duduk di kursi samping ranjangnya dan memakan roti di sana.

Rani segera bangun dan mendekati sang putri.

"Bunda, Sheryl mau makan bakso boleh?" ucapnya.

Rani memeluk sang putri.

"Nak, kamu nggak ngerasa apa-apa? Kamu turun sendiri?"

Sheryl mengangguk. "Sheryl denger suara mas Az azan. Sheryl bangun terus bisa duduk sini."

Sulthon mengecup kening putrinya.

"Kita salat dulu, kamu tayamum. Salah sambil tidur aja. Nanti setelah ini, perawat pasti datang buat suntik obat pagi. Nanti kita konsultasi ya, Ayah takut kamu tiba-tiba drop lagi."

Sheryl akhirnya menurut. Ia membiarkan ayahnya membopong tubuh yang kini sangat kurus itu ke atas ranjang.

Rani dan Sulthon bersiap salat, Sheryl juga berusaha salat sembari duduk. Ia sengaja memacu tubuhnya untuk bergerak lebih. Rasa rindu yang menggelora di benaknya membuat Sheryl semakin ingin cepat keluar dari tempat itu dan menyusul sang suami.

Subuh berlalu, sejam, dua jam, tiga jam, tak ada keluhan yang dirasakan Sheryl. Bicaranya mulai biasa meski tak sekeras dulu. Ia bahkan bisa video call dengan keponakan kesayangannya, Syaqil yang kini sudah berumur hampir dua bulan.

"Bun, itu Sheryl nggak apa-apa kan? Ayah takut kalau tiba-tiba dia ... Drop lagi."

Rani dan Sulthon sama-sama tengah merasa bahagia tetapi juga khawatir. Tiga kali mereka dibuat shock atas serangan sakit tiba-tiba yang  membuat putrinya lemah.

"Bunda," panggil Sheryl.

"Ya Nak, kenapa?" Rani mendekat pada sang putri yang baru selesai menelpon keponakannya.

Wajah Sheryl mulai kembali cahayanya.

"Bunda bisa rapiin rambutku, potongin kukuku?" pinta Sheryl.

"Bisa dong, bentar Bunda ambilin alatnya dulu."

"Bunda aku mau mandi, aku mau dandan," ucap Sheryl.

Jiwa centilnya kembali. Rani terkekeh.

"Ayah, beliin Sheryl baju ya," pintanya.

Sulthon mendekati sang putri dan mengecupnya.

"Kita nunggu dokter dulu. Ayah harus yakin dulu sama kondisimu, baru kita beli-beli baju."

Sheryl mengerucutkan bibirnya yang kini tak lagi bengkak. Luka-luka mengering di wajahnya mulai menghilang. Bengkak di pipi sebelah kiri juga sudah mengempis meski dagunya masih memar sedikit.

HADRAH in LOVE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang