Part 30. Ijin Malam Minggu

229 30 16
                                    

"Assalamualaikum, Pak Sulthon. Ini saya Azmi."

"Wa alaikumussalam. Ada apa Mas Azmi? Ada sesuatu sama Sheryl?"

Pria berkumis itu terlihat panik. Rani, yang tengah menyiapkan semur labu siam di meja makan seketika mencuri dengar pembicaraan sang suami.

"Mboten kok Pak. Bapak sama Ibu sehat?"

Sedikit rasa lega mengalir di dada Sulthon.

"Alhamdulillah, sehat. Ada apa Mas Azmi kok tumben telpon saya?"

"Begini Pak, sebelumnya saya minta maaf, sudah mengganggu waktu Bapak. Maksud saya menelpon ini, mau minta ijin, ngajak Dek Sheryl main ke Malioboro nanti malam. Ng ... Rame-rame kok Pak, sama anak-anaknya Pak Reza juga."

Rani mendengar pembicaraan suami dan teman putrinya itu.

"Oh begitu. Memang mau ada acara apa?"

"Mau jalan-jalan Pak. Jadi, ceritanya, mulai minggu depan saya ada pekerjaan lain dengan teman-teman Hadrah. Dan, intinya mau ngajak keluar sebelum berpisah."

Sulthon terlihat berpikir.

"Mas, anak saya Sheryl, bukan berasal dari kalangan santri seperti Mas Azmi. Dia cenderung bebas dan urakan. Saya takut, kalau Mas dekat dengan anak saya, akan membuat nama Mas jadi buruk, apalagi dengan masa lalu anak saya yang ... Gagal menikah."

Rani terdiam. Dia tahu betul, meski hatinya hancur, hati putri mereka terluka, sesungguhnya yang paling menanggung sakit adalah Sulthon. Dia merasa begitu kecewa dan marah ketika putrinya harus dikhianati pria yang sudah ia percaya untuk menjaga sang putri.

Teringat waktu pertama kali Rani dan Sulthon mendengar kebenaran dari Ayesha, yang menyampaikan berita itu.

"Mbak, Mas, Sheryl sama Kevin putus. Kevin, ternyata udah punya anak sama perempuan lain. Dari hubungan diluar nikah."

Saat itu Sulthon mengalami sesak nafas dan harus dilarikan ke rumah sakit. Selama beberapa hari, pria itu terlihat murung, meski ketika sedang bersama sang putri, dia terlihat ceria seperti biasa.

"Pak, jujur saja, saya sudah membicarakan niat saya untuk ta'aruf dengan Dek Sheryl. Saya tidak peduli dengan masa lalu Dek Sheryl. Semua sudah takdirnya, jalannya, semua itu bukan masalah untuk saya. Mohon maaf, memang seharusnya saya datang langsung memghadap Bapak. Tapi, ijin kan kami istikharah dulu ya Pak. Setelah itu,insyaallah jika memang jalannya kami bersama, saya akan segera mengkhitbah Dek Sheryl dsn menikahinya. Maaf sekali lagi jika saya tidak sopan karena hanya berbicara di telepon."

Sulthon berdehem. "Mas, saya menghargai niat dan itikad baik Mas Azmi. Namun, jujur saja, saya masih belum bisa melepaskan putri saya. Yang saya mau bukti, bukan janji. Silakan hubungi saya lagi jika memang Mas Azmi serius. Langsung nikahi dia. Jika tidak, mohon maaf, sebaiknya Mas Azmi mengurungkan niat melamar anak saya."

"Baik Pak, saya akan memohon petunjuk dan jalan yang terbaik. Dek Sheryl juga sudah bicara dengan saya Pak. Misal memang bukan jodohnya, kami juga tetap berjanji akan berteman seperti biasa. Layaknya saudara. Jika memang rejeki kami berjodoh, mohon restu dan kerelaan Bapak dan Ibu, mengijinkan kami bersama."

"Mintalah pada Allah ... Mintalah dengan sungguh-sungguh. Saya pernah kecewa pada seorang laki-laki yang saya percaya untuk menjaga putri saya, nyatanya dia justru menjadi penyebab kesakitan putri saya. Tolong, Bapak minta sama Mas Azmi. Jika memang Mas Azmi bersungguh-sungguh, tolong, jalani penjajakannya sesuai syariat. Tolong, jangan sakiti putri saya. Dia adalah permata hati saya. Saya tidak ridho sedikitpun pada siapapun orang yang membuatnya sedih, sakit, dan terluka."

HADRAH in LOVE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang