Part 11. Salahkah?

189 33 2
                                    


Asap rokok elektrik membumbung. Gadis berambut gulali itu menatap kekasihnya yang tengah menikmati setiap hisap rokoknya.

"Mau?" tanya Kevin sembari tersenyum.

Sheryl memang sangat penasaran dengan hal-hal seperti itu tapi dia tak pernah jauh mencoba melangkah ke sana. Ragu, gadis itu mengambil benda dari tangan Kevin.

"Orang di mesjid juga pada ngerokok kan?" tanya Kevin.

Sheryl mengangguk. Ia paham maksud Kevin.

"Sampai kapan kamu nggak mau makan kalau mami ngirimin masakannya sih?"

Sheryl yang mencoba benda tadi terbatuk-batuk. Sejujurnya ia bingung mau menjawab apa.

"Gue tau itu bumbu-bumbu di dapur lu pake minyak babi," batin sang gadis.

"Rasanya seru juga ya," ucap Sheryl mengalihkan pembicaraan sembari menyodorkan kembali rokok sang kekasih.

Kevin terkekeh melihat Sheryl ikut menghisap rokoknya.

"Sher, kamu nggak berat sehari berkali-kali salat? Mengganggu aktivitasmu kan?"

Gadis yang tengah mencecap ice americano itu mendadak menelengkan kepala.

"Apanya yang berat?"

"Ya itu, ribet. Kamu harus ibadah lima kali sehari. Ngapain? Kamu nggak dapet apa-apa kan dari sana? Misal kamu nggak ibadah juga nggak dihukum sama penegak hukum kan? Ngapain kamu repot?" tanya Kevin.

Sheryl tersenyum, percuma berdebat dengan orang seperti Kevin. Ia paham betul itu.

"Aku gabut, Koh. Jadi biar nggak kosong-kosong amat, ya aku kerjain semuanya."

Terdengar suara barang jatuh.

"Koh Kev. Maaf, dipanggil Cici."

Sosok yang tengah memegang sapu dan tempat sampah berdiri di dekat pintu.

"Oke, eh Az tolong stemin gitarku dulu," ucap Kevin sembari menyerahkan gitar kesayangannya pada Azmi.

Azmi meletakkan sapunya dan menerima gitar tersebut.

"Sher, aku tinggal dulu ya."

Si perempuan mengangguk sembari fokus pada layar ponselnya. Sepeninggal Kevin, Azmi mulai sibuk dengan gitarnya.

"Mas, iringin aku bisa?" tanya Sheryl kemudian.

"Hm?" tanya Azmi tanpa menatap Sheryl.

"Sholawatan yuk. Mas bisa kan? Yuk," ajak Sheryl kemudian.

Azmi tak merespon. Merasa dicueki, Sheryl mendekat.

"Mas!" rengek Sheryl.

Azmi yang sibuk memetik dan memutar-mutar setelan senar menoleh saat bahunya ditepuk.

"Kenapa bisa Mbak jawab salat karena gabut?" tanya Azmi dengan nada bicara sedikit ketus.

Sheryl menatap lekat Azmi yang kebetulan tengah menatapnya. Seketika pria itu berpaling saat Sheryl tersenyum. Kecantikannya sungguh paripurna, membuat sang pria mempererat genggaman tangannya pada gitar berwarna biru itu.

"Mas ... Kira-kira, Mas kalau ngasih penjelasan Akuntansi ke anak TK, mereka bisa mengerti?"

Satu detik, dua detik, tiga detik, wajah Azmi berubah. Rahang yang semula menegang kini tak lagi kaku.

"Aku nggak punya ilmu yang bisa menjelaskan ke dia detail-detail tentang islam. Dari pada aku salah, mending aku jawab gitu, Mas."

"Tapi ... Rasanya kurang tepat. Lain kali jawab saja itu memang sudah kewajiban. Dan dari hal wajib yang rutin kita lakukan, perlahan merasuk dalam diri kita, menjadi sebuah kebutuhan. Jawab saja seperti itu," usul Azmi.

HADRAH in LOVE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang