Chapter 6

47 5 3
                                    

Kinanti menghela nafas panjang. "Ini peringatan terakhir. Menyingkirlah dan aku tidak akan menyakiti kalian," ucap sang putri pada pria berbadan paling kekar tadi. Nampaknya dia adalah ketua mereka.

Preman itu dan empat anak buahnya tertawa lepas. "Bukankah seharusnya kami yang berkata demikian?" tanya sang ketua.

"Lima pria melawan seorang gadis, sudah pasti 'kan siapa yang akan menang?" tanggap seorang anak buahnya.

"Nangja, aku tau kau pasti ketakutan. Jadi menyerahlah. Kami janji tidak akan main kasar," imbuh anak buahnya yang lain.
(Nangja : panggilan untuk gadis berusia 20an.)

Sang putri kembali menghela nafas. "Baiklah jika itu keputusan kalian," ucapnya dengan nada pasrah. Ia membuka jang-ot yang sejak tadi menutupi kepalanya. "Tapi ijinkan aku menyimpan jang-ot ini. Aku tidak suka pakaianku kotor."

Kinanti berbalik dan berjongkok untuk menyimpan jang-ot itu pada sebuah pelataran batu. Seorang anak buah preman tadi mengikutinya. Pria itu hendak memeluk sang putri dari belakang. Tanpa aba-aba, Kinanti menendang lurus ke belakang, tepat mengenai dagu si pria. Dia langsung terkapar tak sadarkan diri.

"Kalian bergerombol tapi masih bermain kotor saat menghadapi seorang gadis?" tanya Kinanti sembari berdecak tidak percaya. "Sungguh memalukan." Sang putri tertawa sinis.

"Beraninya kau!" teriak seorang pria dari sisi belakang. Kinanti melirik pria tersebut. Ia mengacungkan sebuah kapak, bersiap menebasnya. Namun dengan sigap sang putri bisa menghindarinya. Kinanti menendang selangkangan pria itu. Dia langsung terjatuh sembari meraung kesakitan.

Seorang pria lain hendak menyerangnya dengan golok panjang. Dengan mudah sang putri bisa menghindari semua serangan pria itu. Kinanti memegang pergelangan tangan si preman lalu merebut goloknya. Semua orang di sana langsung waspada.

Sang putri tersenyum miring. "Menggunakan senjata untuk melawan cecunguk seperti kalian? Rasanya tidak perlu," katanya dengan nada sarkas. Ia melemparkan golok itu ke arah sang ketua. Golok tersebut tertancap di tiang salah satu bangunan, tepat di pinggir telinga si ketua.

"Kau akan menyesali perbuatanmu, Nona." Seorang pria yang membawa celurit berlari menghampiri Kinanti. Sang putri menghindar lalu memegang pergelangan tangan pria itu. Ia kemudian memukul bahunya dari depan dengan keras. Tanpa memberi jeda, Kinanti langsung meninju lehernya. Sang pria mundur sambil terbatuk.

Kinanti menghela nafas. Rautnya menunjukkan bahwa ia bosan. "Hanya itu saja?" Kesan meremehkan terdengar jelas dalam ucapannya.

Pria yang kehilangan goloknya tadi kembali maju. Dia menyerang sang putri dengan tangan kosong. Gadis itu dengan mudah menghindari semua serangannya. Kinanti merunduk lalu memukul ulu hati pria tersebut dengan tangan kiri. Ia lalu melayangkan tinju tepat ke hidung sang pria. Darah segar langsung mengalir dari sana. Tanpa memberi jeda, Kinanti berputar kemudian menendang pelipis sang pria hingga ia terjatuh dan tak sadarkan diri.

Kini tinggal sang ketua. Pria itu nampak sangat ketakutan hingga. Sang putri kembali tertawa sinis. "Kemana perginya pria congkak tadi?"

Si ketua berteriak seolah mengumpulkan tekadnya. Ia berlari hendak menerjang Kinanti. Saat pria itu sudah dekat, sang putri berjongkok lalu berputar sambil memajangkan sebelah kakinya. Pria tersebut langsung jauh mencium tanah.

Dengan tergesa-gesa si ketua merubah posisinya. Ia bersujud ke hadapan Kinanti. "Saya mohon ampuni kelancangan saya tadi. Saya berjanji tidak akan melakukannya lagi," ujarnya penuh sesal. Badan kekar si pria bergetar hebat karena ketakutan.

Untuk kesekian kalinya, sang putri menghela nafas. Ia berdiri sambil menepuk-nepuk bajunya, membersihkan debu dan tanah yang menempel. Gadis itu beralih menatap malas sang ketua. "Lebih baik kau menepati janji itu. Jika kita bertemu lagi dan kau masih menjadi perampok, aku akan memotong jari kalian satu persatu."

My Special QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang