Chapter 17

42 5 1
                                    

Sebelum pergi, Hoseok memberikan selebaran yang diambilnya dari pasar pada Kinanti sebagai bukti bahwa sang pria tidak akan berkhianat. Sejak saat itu pula, kepala si gadis terasa begitu berat. Masalah yang dihadapinya terus berdatangan. Semuanya menumpuk menjadi gundukan mimpi buruk yang nyata.

Hangatnya mentari sudah menggeser hawa dingin awal musim gugur. Sang putri memutuskan untuk berjalan-jalan. “Udara segar mungkin akan membantu menyejukkan kepalaku. Berdiam diri di kamar hanya membuat pikiran semakin kalut. Yang lain juga pasti sama pusingnya denganku. Mereka pasti tidak masalah jika aku keluar sebentar,” batinnya.

Langkah demi langkah gadis itu ambil. Matanya tak henti memandang sekitar. Melihat aktivitas warga merupakan kesenangan tersendiri bagi sang putri. Melihat rakyat yang hidup damai dan tentram adalah dambaan setiap pemimpin.

Kaki gadis itu berhenti saat mendengar suara anak-anak. Sebuah senyum tipis terukir di wajahnya. “Apa mereka sedang bermain?” gumamnya.

Rasa penasaran membimbing langkah sang putri ke arah suara. Namun kakinya kembali berhenti ketika ia sadar, anak-anak itu sedang mengumpat. Dahi si gadis berkerut, berusaha menimbang apa itu nyata atau hanya hayalannya saja.

Tak lama, Kinanti mendengar erangan kesakitan diantara umpatan mereka. Seolah diguyur air dingin, kaki si gadis langsung berlari ke arah suara.

Di sana, Kinanti melihat segerombol anak-anak menendangi sesuatu. Matanya terbelalak saat menyadari mereka sedang menendang seorang anak.

“Hey, berhenti!” teriak sang putri.

Anak-anak itu sontak menghentikan aktivitas mereka.

Seorang anak maju dengan kedua tangan di pinggang. Tatapannya begitu angkuh. “Sialan! Berani-beraninya kau memerintah kami. Memang kau siapa?”

Sang putri berdecak. “Bagaimana bisa bocah punya mulut sekasar itu?”

“Kau tidak tahu siapa aku?!” Bocah tadi berteriak. Kakinya jingkit berusaha menandingi tinggi Kinanti. Tapi tentu saja usahanya sia-sia. Seolah tidak peduli, ia lanjut berkata, “Aku Han Gi Sung. Adik dari Han Ki Jung, ketua preman paling kuat di desa ini.”

Kinanti tertawa sinis. “Kakak dan adik tidak ada bedanya.” Si gadis merendahkan tubuh untuk menyamakan tinggi dengan bocah itu. “Dengar, bocah! Jangan bangga dengan kelakuan kakakmu yang seperti sampah.” Ia mengeluarkan senyum terbaiknya. “Jangan contoh kakakmu itu dan jadilah anak yang baik.”

Tangan si gadis terulur, hendak mengusap puncak kepala Gi Sung. Namun, si bocah menepisnya. “Beraninya jalang sepertimu menjelekkan kakakku!”

Kinanti menegakkan kembali tubuhnya. “Hey, aku hanya berkata seperti itu dan kau sudah marah?” tanyanya seolah tidak percaya. “Kira-kira bagaimana perasaannya, ya?” Mata sang putri tertuju pada anak yang tadi mereka injak-injak. Anak itu duduk sambil memeluk lutut tak jauh dari sana. Tangannya disimpan di dada seolah mendekap sesuatu.

“Meski kami masih kecil, kami bisa melumpuhkan gadis lemah sepertimu!” ujar Gi Sung penuh ancaman.

Sang putri menghela nafas lelah. “Baiklah. Anak yang keras kepala memang harus ditempa agar kembali lurus.”

Gi Sung berlari menerjang Kinanti. Sang putri menunduk, mengambil sebuah ranting yang tergeletak di tanah. Si gadis memukul pantat bocah itu cukup keras hingga ia tersungkur.

Para teman preman kecil itu tak tinggal diam. Seorang yang cukup tinggi berlari hendak menjambak sang putri. Kinanti menghindar dengan cara berputar kemudian memukul tangan dan betis si bocah.

Bocah yang lain ikut maju secara bergantian. Pertarungan yang bisa dibilang tidak seimbang tersebut terus berlanjut hingga semua anak nakal itu tidak bangkit lagi. Mereka terlalu sibuk memegangi tubuh mereka yang terkena pukulan Kinanti sambil terisak.

My Special QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang