Sang putri terus berlari sekencang mungkin. Ia mengambil jalur terpendek ke kediaman rombongannya. Dalam hati ia terus berdoa bahwa semua ini hanyalah mimpi.
Tapi harapan itu sirna saat indranya menangkap bau amis darah. Kinanti terus berjalan. Langkahnya melambat. Dengan cahaya dari obor para petugas yang ada di sana, ia bisa melihat banyak tubuh tergeletak di berbagai tempat.
Kakinya melemas. Gadis itu jatuh terduduk.
Para perajurit yang ada di sekitar sana menghentikan aktifitas mereka. Semuanya berlutut, memberi hormat pada sang putri.
Kinanti membatu. Dirinya masih tidak terima dengan kenyataan. Kediaman tersebut terletak persis di samping barak tentara. Selain itu, Usep, Asep, dan Mang Seta sama sekali tidak bisa diremehkan. Meski sendiri, mereka bisa melumpuhkan satu regu pasukan elit dengan mudah.
Sang putri kembali memperhatikan jasad-jasad yang ditutupi kain seadanya. Netranya terhenti pada jasad yang tergeletak di dekat pintu masuk utama. Dirinya tak kuasa menahan air mata saat melihat tangan itu. Tanagan yang tadi malam masih mengelus lembut rambutnya. Tangan yang selalu ada saat si gadis membutuhkannya.
Kinanti merasa begitu terpuruk. Dirinya seakan dihantam batu besar. Tapi sesaat kemudian, semua emosi itu berubah menjadi amarah.
Sang putri bangkit. Aura yang pekat seakan menyelimuti tubuhnya.
“Siapa yang bertanggung jawab atas kejadian ini?!” teriak gadis itu. Suaranya menggema memecah keheningan.
Diam. Tidak ada yang berani menjawabnya.
Kinanti melihat sekeliling. Semua orang berlutut. Tidak ada yang berani menatapnya. Oh Sanggung dan para dayang yang baru sampai pun ikut tunduk.
“Jawab aku!” teriak gadis itu lagi.
“Jugyeo jusieobsoseo, Mama,” ucap semua orang bersamaan.
(Trans : Tolong bunuh saya, Yang Mulia)“Kematian kalian tidak akan mengubah apapun.” Suara Kinanti terdengar begitu tajam. “Jawab aku. Siapa yang bertanggung jawab?!”
Seorang petugas mengangkat tangannnya. “S-saya adalah ketua pasukan penjaga yang bertugas hari ini.” Pria itu gemetar ketakutan.
Sang putri langsung menatapnya tajam. “Jelaskan kenapa hal ini bisa terjadi.” Suaranya terdengar agak menggeram.
“Maafkan saya, Mama. Ketika saya dan pasukan datang untuk berpatroli, keadaannya sudah seperti ini. Semua penghuni dan petugas yang berjaga di sekitar sini sudah tewas,” jelas perwira itu.
Kinanti diam. Menunggu si pria kembali bercerita.
“Namun, ada beberapa orang yang menghilang. Kemungkinan, mereka berhasil melarikan diri,” sambung si ketua pasukan. Pria itu semakin menenggelamkan wajahnya ke tanah. “Meski begitu, saya pantas mati, Mama.”
Sang putri mendengus kesal. “Kenapa kalian selalu meminta dibunuh saat melakukan kesalahan?” Wajah si gadis terlihat begitu jengkel. “Apa kalian pikir dengan kematian, semuanya akan selesai?!”
Tidak ada yang menjawab. Aura di sana begitu mencekam. Hanya untuk bernafaspun mereka ketakutan.
Tangan Kinanti bergerak mengambil pedang seorang perajurit. Ia kemudian mengarahkannya ke ketua pasukan tadi. “Apa kalian pikir aku tidak bisa membunuh kalian?” tanyanya dengan nada dingin.
“Mama!” teriak Oh Sanggung.
Semua orang semakin gemetaran.
Sang putri tidak mempedulikan hal itu. Ia berjongkok lalu berbisik, “Aku beri waktu hingga matahari tenggelam. Temukan sesuatu atau aku akan membuatmu lebih menderita dibanding mati.”
KAMU SEDANG MEMBACA
My Special Queen
FanfictionKinanti, Putri Kerajaan Sunda pergi ke Kerajaan Goguryeo untuk memenuhi Perjanjian Laut yang dibuat 10 tahun lalu. Perjanjian itu mengharuskan sang putri menikah dengan Putra Mahkota negeri tersebut, Jimin. Saat mereka resmi menjadi Raja dan Ratu, K...