Bird in A Cage

36 4 0
                                    

Jimin POV

Sudah lebih dari tiga minggu Ibunda pergi ke Kerajaan Sunda. Mereka bilang aku dan beliau tidak akan bisa bertemu selama beberapa bulan. Meski biasanya pun kami jarang bertemu dan aku sudah mempersiapkannya dari jauh hari, ternyata hal ini tetaplah berat.

Karena bosan, aku menyelinap dari kamar untuk berjalan-jalan. Tapi sekarang aku malah tidak tahu harus kemana. Ini pertamakalinya aku berkeliling sendiri.

'tap'

Sebuah jegi mendarat di dekat kakiku.
(Jegi : sejenis kok yang digunakan dalam permainan jegi-chagi.)

Aku menoleh, mencari siapa yang melemparnya.

Seorang anak perempuan datang menghampiri. Dia tersenyum singkat kemudian langsung mengambil jegi tadi. "Maaf, ini punyaku," ucapnya santai.

Aku berdeham karena tersinggung. Bagaimana dia bisa selancang ini. Meski masih kecil, aku adalah seorang putra mahkota. "Jaga bicaramu," tanggapku ketus.

Dia balas menatapku cuek.

Sesaat kemudian seorang anak laki-laki menghampiri kami. Ia menunduk dalam. "Maafkan kelancangan saudari kembar saya, Joha." Wajah mereka terlihat sangat mirip.

Melihat sang kembaran yang tidak peduli, bocah laki-laki itu menarik tangan si gadis. Dia berdecak malas. "Maafkan saya," katanya sembari mendelikkan mata.

Aku menghela nafas berat.

"Kalau bagitu, kami permisi." Si bocah laki-laki menarik tangan saudarinya, hendak pergi.

"Tunggu!" seruku. "Aku belum memaafkan tingkah saudarimu itu." Aku menatap keduanya sambil berpangku tangan.

Kedua bocah itu berbalik lalu kembali menunduk. "Sekali lagi, tolong maafkan saudari saya."

Aku tidak menjawabnya.

"Saya mohon, tolong maafkan saya. Saya bersedia melakukan apapun asalkan Anda memaafkan saya," kata si bocah perempuan. Kali ini suaranya terdengar lebih tulus.

"Benarkah?" tanyaku memastikan.

Mereka mengangguk sebagai jawaban.

Aku diam, memikirkan hukuman apa yang pantas untuk bocah itu. Tiba-tiba, sebuah ide terlintas di kepala. "Tadi bocah itu tidak sengaja menjatuhkan jegi, kan?" batinku.

Dengan sebuah senyum penuh misteri, aku kembali berucap, "Aku akan memaafkan saudarimu jika dia bisa mengalahkanku dalam permainan jegi."

Mereka saling bertatapan. Raut bingung tergambar jelas di wajah keduanya.

Aku berdeham. "Asal kalian tahu, aku adalah jenius dalam permainan itu." Aku mengangkat dagu dengan angkut. "Di setiap permainan, aku selalu mendapatkan lebih dari lima poin," sambungku dengan bangga.

Tak disangka, si bocah perempuan malah tertawa. "Jika itu disebut jenius, lalu aku apa?" celetuknya.

Sang kembaran menyikut lengan gadis di sampingnya. "Diam, Bodoh!" bisiknya tajam.

"Apa kau tidak percaya?!" tanyaku yang tidak terima. "Kemarikan jegi itu, akan kutunjukkan kemampuan terhebatku!"

Si bocah perempuan menurut. Ia memberikan benda tersebut. "Aku menantikan permainan terbaikmu, Yang Mulia." Ada kesan meremehkan dalam perkataannya.

Aku tidak mempedulikannya dan memulai aksiku.

"Delapan poin!" teriakku gembira begitu jegi tersebut menyentuh tanah.

Aku berbalik dan menatap si anak perempuan. "Aku akan mengampunimu jika menang. Tapi jika kalah, kau harus bekerja membersihkan kotoran kuda selama seminggu."

My Special QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang