Who Suffer from The Lost

51 5 0
                                    

Kinanti POV

Hari itu sangat cerah. Matahari seakan senang melihatku berlarian di tengah ladang bersama sahabatku, Aji. Orang tua kami sedang sibuk menggarap ladang jagung yang luas ini. Sedangkan kami dibiarkan bermain sendiri.

Setelah lelah kejar-kejaran, Aji menghampiri tasnya yang terbuat dari anyaman. Ia mengeluarkan seutas tali, potongan-potongan kayu dan beberapa barang lainnya. Aku duduk di sebelah bocah itu, memperhatikan tangannya merakit benda-benda tadi. Meski masih kecil, kemampuannya dalam membuat kerajian tidak bisa diremehkan.

"Kau sedang apa?" tanyaku penasaran.

"Membuat gelang untuk kita berdua," jawabnya singkat.

Aku memperhatikan wajah bocah berkulit putih itu. Ibunda bilang, dia memiliki turunan darah Tionghoa dari ibunya. "Pantas saja kulit dia dan Bi Lina sangat putih," batinku.

Setelah mengikatkan tali pada potongan kayu kecil, Aji berlari menuju api unggun yang dibuat Bi Eros di dekat saung. Bocah itu mengambil sebatang ranting lalu membakarnya.
(saung : bangunan kecil ditengah sawah atau kebun yang digunakan sebagai tempat istirahat)

Aku berjongkok di sampingnya, memperhatikan dengan penasaran. "Apa yang sedang kau lakukan?"

Pandangan Aji tetap fokus pada ranting yang ia pegang. "Aku memengukir nama kita di sini, tapi tulisannya tidak terlihat. Jadi aku akan mewarnainya dengan arang." Bocah itu beralih menatapku sambil menunjukkan barisan giginya.

Aku mengangguk paham.

Aji meraut arang pada ujung ranting tadi dengan pisau kecil. Ia Lalu mengusapkan bubuk arang tersebut pada gelang yang dibuatnya. Tulisan pada gelang itu mulai terlihat jelas.

Bocah itu memberikan gelang bertuliskan namaku. "Aku sudah mengukir namamu di sini. Karena kau selalu menamai barang-barang milikmu," katanya. "Padahal siapa juga yang berani mencuri barang seorang putri?" sambungnya menggerutu.

Aku mendengus kesal. "Kau tidak ingat 2 bulan yang lalu? Sisir kesayanganku hilang!"

Aji menghela nafas. "Bukan hilang. Kau meninggalkannya di halaman belakang saat bermain. Ibundamu yang bilang," tanggapnya.

Ya, itu memang benar. Aku tidak bisa membalasnya lagi.

Aku kemudian menunduk, memperhatikan gelang buatan Aji. Saat menyadari ada yang salah, aku langsung tertawa lepas.

"Kenapa? Ada yang aneh?" tanyanya panik.

Aku menunjukkan tulisan pada gelang itu. "Huruf 'ta' mu salah."

Bocah itu menggaruk tengkuknya. "Maaf, sudah kebiasaan," kurasa dia sedang menahan rasa malu. Wajahnya jadi merah sekali.

"Néng Kinanti, Aji, ayo makan dulu!" panggil Bi Lina.

Seolah berlomba, kami berlari ke dalam saung. Tak lama, Ayahanda, Bi Eros, Mang Gilang, dan Téh Ani juga datang ke tempat itu. kami semua menyantap makan siang buatan Bi Lina dan Bi Ati dengan lahap.

Saat semua masih sibuk makan, Bi Eros mengumpulkan sisa tulang-tulang ayam.

Téh Ani menyadari hal itu. "Tulang-tulangnya untuk si layung 'kan, Bi?"

Bi Eros mengangguk semangat. "Boleh kan, Kang?" tanyanya penuh harap pada Ayahanda.

Ayahanda tertawa kecil lalu mengangguk. "Kau pasti sangat menyayangi kucing itu, ya?"

Bi Eros kembali mengangguk sambil tersenyum cerah.

Derap langkah kuda mengalihkan perhatian kami. Seorang perajurit istana datang menghampiri. Ayahanda langsung bangkit dan menemuinya.

My Special QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang