Setelah mendengar teriakan Yoonji, semua serempak berlari ke arah suara. Mereka kebingungan melihat raut kaget sang wanita. Wajahnya yang putih terlihat jauh lebih pucat dari biasanya.
"Ada apa, Nui?!" tanya Hoseok panik.
Yoonji tidak menjawab. Namun tangan kanannya terangkat dengan jari telunjuk yang terarah pada sesuatu di dalam ruangan.
Tubuh Yeong Cha, pelayan Kepala Penasehat Negara melayang. Lehernya menggantung pada tali yang tersambung dengan kayu penopang langit-langit.
Tentara kembar sang putri langsung beraksi. Usep melempar sebuah pisau kecil kemudian kembarannya menangkap jasad pria tersebut. Asep membaringkan tubuh kaku sang pelayan lalu memeriksa denyut nadinya. Dengan wajah sendu ia menatap sang putri sambil menggeleng.
Di sisi lain, Jimin menyadari sesuatu. Selembar kertas tergeletak tak jauh dari tempat Yeong Cha tergantung. "T-teman - teman," kata sang pangeran bergetar.
"Seja Joha, Gongju Mama, saya minta maaf jika Anda berdua yang pertama kali menemukan jasad saya. Tidak. Saya harap Anda berdualah yang menemukan jasad saya.
Saya sudah mengkhianati tuan saya sendiri. Saya sudah tidak pantas hidup lagi.
Tapi, ada sesuatu yang perlu saya sampaikan. Pergilah ke bangunan paling pojok sebelah timur. Sekilas ruangan tersebut memang tidak aneh, namun jika Anda membongkar alas kayunya, ada banyak harta yang mungkin bermanfaat untuk misi Anda selanjutnya. Lalu ada sebuah lukisan di ujung ruangan, terdapat hal lain yang akan sangat berguna bagi Anda di belakangnya.
Saya benar-benar minta maaf karena masih merepotkan Anda meski sudah tiada, Yang Mulia."Sang pangeran memperhatikan ekspresi kawan-kawannya setelah selesai membaca surat tersebut. Wajah mereka dipenuhi awan mendung, tak terkecuali Haeshi.
"Kumaha atuh, Néng?" tanya Asep cemas.
(Trans : Bagaimana ini, Nona?)"Kita periksa ruangan yang dia maksud dulu," jawab sang putri.
***
Semua orang sampai ke bangunan yang dimaksud. Terdapat sebuah taman kecil di depan bangunan yang menghadap ke laut itu. Lalu di sebelah kanannya, ada tugu kecil yang terbuat dari batu.
Jimin berjalan ke arah tugu itu. Matanya menatap sendu tulisan pada batu tersebut. "Jeon Won Sung," bisiknya pelan.
"Itu nama adik Kepala Penasehat Negara, kan?" tanya Kinanti memastikan. Entah sejak kepan ia sudah berdiri di belakang sang pangeran.
Jimin mengangguk sebagai jawaban.
"Yak! Apa yang kalian lakukan? Ruangannya di sini!" teriak Yoon-gi dari depan pintu. "Cepatlah, kita harus segera berangkat!"
Kinanti dan sang pangeran pun melangkah ke arah si tabib.
"Apa aku bermimpi?" gumam Yoonji dengan mata terbelalak. Tatapannya terpaku pada barisan emas batangan juga gulungan sutra yang tersusun rapi di bawah lantai kayu ruangan tersebut.
Sementara Hoseok, Haeshi, Asep dan Usep masih sibuk membuka lantai kayu tersebut, Jimin melangkah ke ujung ruangan. Sejenak ia memperhatikan lukisan yang terlihat mahal itu. Ia kemudian melepaskannya dari dinding.
'Brug!' Sebuah buku terjatuh dari balik bingkai lukisan. Sang pangeran mengambil lalu membacanya.
Rahang Jimin mengeras. Dengan kasar ia membalik halaman demi halaman. Namun hal itu hanya membuat amarahnya semakin memuncak. "Kurang ajar," gumamnya.
"Joha, apa saya boleh tahu isi buku tersebut?" tanya Haeshi.
Sang pangeran sontak menutup kembali buku itu. Ia memaksakan sebuah senyum sambil berkata, "Nanti aku pasti akan memberitahukannya." Sang pria kemudian berjalan meninggalkan Haeshi begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Special Queen
FanfictionKinanti, Putri Kerajaan Sunda pergi ke Kerajaan Goguryeo untuk memenuhi Perjanjian Laut yang dibuat 10 tahun lalu. Perjanjian itu mengharuskan sang putri menikah dengan Putra Mahkota negeri tersebut, Jimin. Saat mereka resmi menjadi Raja dan Ratu, K...