Chapter 15

42 4 3
                                    

Pagi Hari
Di Perbatasan Kerajaan Sunda

Prabu menyetujui keputusan Satya untuk mengambil alih kepemimpinan di perbatasan setelah putra sulungnya itu melapor tentang penemuan markas perampok. Tak lupa, sang putra mahkota juga memberitahukan rencananya untuk menyisir seluruh bibir pantai dengan bantuan Adi. Tapi tentu saja, Satya sama sekali tidak membahas tentang peti berisi tumpukan surat yang ditemukannya.

Di saat yang sama, Tuan Hong Jae mengajukan diri untuk turun tangan dalam masalah tersebut. Ia mengatakan, selain merasa bertanggung jawab sebagai perwakilan Goguryeo, dia juga merasa bosan jika terus diam di rumah. Itu karena, tujuannya untuk datang kemari sudah terpenuhi. Namun adik mendiang ratu goguryeo tersebut enggan pulang karena terlanjur cinta dengan tanah sunda.

Pada akhirnya, Prabu menyetujui keputusan mereka. Keduanya kini ditugaskan di perbatasan secara rahasia.

"Selamat datang di wilayah perbatasan," ucap Satya begitu Tuan Hong Jae turun dari kudanya. Sang pangeran tersenyum penuh arti sembari menunjuk markas utama pasukan perbatasan. Ia seolah membanggakan hasil kerja si bungsu.

Tuan Hong Jae terkekeh. "Terima kasih."

"Kang!" teriak Yana dari arah belakang. Pria itu berlari dan membungkuk hormat pada keduanya. "Selamat datang di markas sederhana kami, Tuan," ucapnya menyapa.

Sang putra mahkota menepuk pelan bahu Yana. "Bagaimana kabarmu?"

Si prajurit mengangguk semangat. "Tentu saja baik," jawabnya. "Mari kita berkeliling sebentar," ajaknya.

"Tentu saja. Aku juga ingin berkenalan dengan yang lain," sahut Tuan Hong Jae.

***

Menjelang Siang
Di Kediaman Yoon-gi

Kinanti duduk di balai di depan kediaman Yoon-gi. Jimin masih belum sadar dan semua orang sedang sibuk bekerja. Hari ini klinik mereka sangat ramai. Para pasien terus berdatangan. Sang putri ingin membantu, namun ia tidak banyak tahu tentang obat-obatan di sini. Selain itu, sikap si tabib kembar kemarin membuatnya segan. Mereka seolah menginginkannya cepat pergi dari sini.

Kini sang putri hanya diam sambil menatap langit. Otaknya terus bekerja memikirkan jalan keluar dari semua masalah yang ada.

"Nangja,"
(Nangja : panggilan untuk gadis berusia 20-an)

Ucapan itu menyadarkan lamunan sang putri. Ia menoleh dan melihat Hoseok berdiri tak jauh darinya. Tangan pria itu membawa bakul berisi perban-perban basah yang baru di cuci.

"Apa yang sedang kau lakukan?" sapa pria itu sembari tersenyum ramah.

"Tidak ada." Kinanti menggeleng. "Aku hanya bosan jika terus diam di kamar," jawabnya.

Hoseok tertawa kecil. "Jika kau bosan, bantu aku saja," balas sang pria dengan nada bercanda.

Namun Kinanti menanggapinya serius. "Dengan senang hati," ujarnya santai. Dia bangkit dan membawa beberapa helai perban.

Tatapan Hoseok berubah cemas. "Hey, aku hanya bercanda. Lagipula lengan kirimu pasti masih saki-" perkataannya terhenti ketika melihat Kinanti dengan mudah menggantungkan kain-kain itu di tali jemuran. Mulut sang pria nyaris menganga karenanya.

Merasa diperhatikan, sang putri menoleh. "Kenapa?" tanyanya bingung.

"B-bagaimana mungkin? Kau yakin tanganmu baik-baik saja?" tanya Hoseok balik. Ia masih tidak percaya dengan kejadian barusan. "Bahkan orang paling hebatpun butuh dua minggu sampai bisa mengangkat lengannya lagi."

Si gadis membatu. "Kemarin tanganku sangat sakit, jadi aku bermeditasi semalaman agar lukanya cepat sembuh. Tapi aku lupa, mereka seharusnya tidak boleh tahu tentang kekuatan ini," batinnya.

My Special QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang