Chapter 7

60 4 0
                                    

Seminggu Kemudian
Di Kerajaan Sunda

"Sampurasun, Pangeran," salam Aceng setibanya di kediaman Satya.
(Trans : Permisi, Pangeran)

"Rampes," balas Satya. Orang yang ia tunggu-tunggu akhirnya datang. "Apa kau sudah menemukan sesuatu tentang kancing itu?" tanyanya tanpa basa-basi.
(Rampes : Silahkan)

"Sudah, pangeran," jawab Aceng mengangguk. "Ki Ageung Pati yang membuatnya. Beliau membuat beberapa kancing seperti itu untuk hiasan gagang kujang. Namun, tidak ada yang tahu siapa saja pemilik kancing tersebut karena beliau sudah meninggal lebih dari 30 tahun yang lalu," jelasnya. Ia menunduk penuh penyesalan. "Membutuhkan waktu cukup lama untuk menelusuri para pemilik kancing itu."

Sang putra mahkota menghela nafas. Ia berusaha untuk tetap tegar. "Tidak apa. Kau sudah bekerja keras."

Derap langkah kuda mengalihkan perhatian keduanya. Mereka lekas keluar melihat siapa yang datang.

Seorang pasukan perbatasan turun dari kudanya dengan tergesa-gesa. "Sampurasun, pangeran," ucapnya. Raut pria itu terlihat panik.

"Rampes," jawab Satya. "Ada apa?" tanyanya khawatir.

Citraloka ikut melihat keluar. Ia berdiam di depan pintu. Wanita itu ikut cemas karena tidak pernah ada pasukan perbatasan yang mendatangi suaminya dengan buru-buru seperti ini.

"Kami membutuhkan bantuan Anda. Para perampok itu semakin mengganas," jelas sang perajurit. "Kang Yana meminta para penduduk menyembunyikan rempah mereka agar tidak dicuri. Namun, para perampok itu malah membakar leuit warga."
(Leuit : lumbung padi ; tempat menyimpan padi hasil panen)

Satya mengepalkan tangannya, menahan emosi. "Leuit siapa yang mereka bakar?"

Si perajurit membungkuk dalam. "Semuanya, Pangeran."

Semua yang ada di sana tertegun. Citraloka bahkan menutup mulutnya tidak percaya.

"Kakang, kau harus segera kesana," ujar Citraloka. Sang suami langsung menoleh menatapnya. "Mereka membutuhkanmu," sambung wanita itu.

Satya kembali menghela nafas. Ia menimbang keputusannya terlebih dahulu.

Sang putra mahkota beralih menatap Aceng. "Beritahu istana. Minta bantuan pasukan dan logistik untuk warga. Kita juga harus memberantas mereka hingga ke akarnya."

Di Goguryeo
Paviliun dekat Danau

Kinanti sedang duduk di paviliun tersebut. Oh Sanggung yang masih trauma dengan kejadian minggu lalu, semakin menempel pada sang putri. Dia tidak mau meninggalkan gadis itu barang sebentar saja.

Sejuknya angin pagi menerpa wajah sang putri. Kinanti menatap langit yang begitu cerah, melihat burung-burung yang beterbangan dengan bebas. Gadis itu tersenyum pahit. Ia sedang merindukan saat-saat bebasnya di Kerajaan Sunda dulu. Kini hari-harinya dipenuhi jadwal pelatihan yang seolah tak pernah habis.

Hijaunya pepohonan membuat sang putri merindukan hutan di perbatasan. Sang putri hanya merasa bebas pada saat bertarung, terutama saat ia menjadi panglima. Tapi sekarang, apa dia bisa melakukan hal itu lagi?

Kinanti menghela nafas. Sebenarnya di Kerajaan Sunda pun, wanita tidak bisa menjadi seorang perajurit. Namun, saat sang putri bisa membuktikan bahwa dirinya mampu menguasai jurus terlarang yang hanya bisa dikuasai pemilik tahta, sang prabu mengakuinya.

Si gadis kembali menatap langit. Kepala Kinanti terasa begitu berat. Masalah perampok, kerinduannya dengan kampung halaman, pelatihan Wang Seja-bin, masa depan, belum lagi pikiran negatif yang terus menghantuinya. Semua permasalah itu terus berputar di kepala sang putri. Suhu udara yang mulai memanas memperkeruh semuanya.

My Special QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang