Pagi Hari
Kediaman Yoon-giSemua orang berkumpul di ruang utama kediaman tersebut. Sesuai janjinya, sang tabib menceritakan semua hal yang disampaikan Hoseok semalam.
Kinanti merasa asing melihat wajah murung Hoseok. Biasanya senyum pria itu tak pernah luntur.
"Jadi, keluargamu yang mendalangi penyerangan itu?" tanya Kinanti setelah Yoon-gi selesai.
Hoseok menggeleng. "Awalnya, aku juga berpikir seperti itu. Tapi aku ingat, ada lambang teratai putih di baju mereka."
"Kalau begitu, pelakunya adalah Tuan Penasehat Negara." Dahi sang putri berkerut, menandakan ia sedang berpikir keras. "Tapi kenapa?"
"Adu domba," imbuh Jimin. "Jika kita susun lagi urutan kejadiannya, yang pertama menjadi korban adalah ibunda, setahun setelah Perjanjian Laut dibuat. Lalu nenekmu, kemudian Tuan Jung Ho Rang. Beberapa tahun setelahnya, muncul perampok yang mengacaukan perbatasan negerimu," paparnya. "Dia membuat seolah kerajaan kita saling serang."
"Tapi keduanya sama-sama tidak sadar," celetuk Yoonji.
"Masuk akal," gumam Kinanti.
"Ah, aku harus kembali bekerja." Yoon-gi meregangkan tubuhnya. Dari matanya, terlihat jelas ia kurang istirahat. "Kalian cepatlah persiapkan barang bawaan. Tengah malam nanti kita berangkat," pungkasnya sebelum meninggalkan tempat itu.
***
Menjelang Siang
PasarJimin dan sang putri kini tengah menyusuri jalanan pasar. Sementara Yoonji dan si tentara kembar berpencar mencari kebutuhan masing-masing. Sejak tadi keduanya tidak banyak berdialog. Sama-sama canggung karena kejadian kemarin.
"Um, apa kau mengingat sesuatu?" tanya Jimin yang berusaha keras menahan rasa gugupnya.
Kinanti menoleh, menunggu si pria melanjutkan.
Sang pangeran memalingkan wajah sembari menggaruk tengkuknya. "Maksudku tentang kejadian kemarin."
Wajah Kinanti seketika memanas. Ia seolah bisa merasakan pipinya yang memerah. "Tentu saja aku ingat," jawabnya setengah berbisik.
"Tunggu. Dengar, aku sungguh minta maaf. Biasanya aku dapat mengontrol emosiku walau dalam keadaan mabuk. Tapi tadi malam-"
Sang putri memiringkan kepalanya. "Tadi malam?" tanyanya memastikan.
Si pria membeku. "Jangan bilang dia tidak tahu aku sempat akan menciumnya lagi semalam. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan sekarang?" teriaknya dalam hati.
Baru saja Jimin hendak membuka mulut, suara seorang wanita mengalihkan perhatian keduanya.
"Naeuri!" Seorang gadis mengenakan hanbok merah yang nyentrik mendekati mereka. Tanpa rasa malu, ia langsung merangkul tangan Jimin. Senyum lebarnya tak lepas dari bibir. "Akhirnya aku bisa bertemu denganmu lagi." Si wanita menyenderkan kepalanya pada dada sang pria.
(Naeuri : Tuan.)Sang putri menatap tajam gadis asing itu.
Seakan baru menyadari keberadaan Kinanti, gadis tersebut pura-pura kaget. "Ah, maaf. Aku Han Gi Rae. Kau pasti adiknya-" Perkataannya terhenti. Matanya memperhatikan Kinanti dari atas hingga bawah, seakan menilai. Dengan sebuah senyum miring dan tatapan jijik, ia kembali berkata, "Kau pembantunya, kan?"
"Dia calon istriku." Suara Jimin terdengar lebih dingin dari es di telinga si gadis. Pria itu melepaskan tangan yang sejak tadi membuatnya risih.
Gi Rae tertawa sinis. "Tuan, aku tahu kau hanya malu dan membuat alasan asal untuk membuatku cemburu. Tapi mengakui gadis kumal ini sebagai calon istri, bukankah itu berlebihan?" Tatapannya jijiknya beralih pada sang putri. "Lihat saja kulitnya yang coklat. Apa kau tak pernah mandi?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Special Queen
FanfictionKinanti, Putri Kerajaan Sunda pergi ke Kerajaan Goguryeo untuk memenuhi Perjanjian Laut yang dibuat 10 tahun lalu. Perjanjian itu mengharuskan sang putri menikah dengan Putra Mahkota negeri tersebut, Jimin. Saat mereka resmi menjadi Raja dan Ratu, K...