Chapter 27

44 4 0
                                    

Sehari Setelah Kejadian Di Kediaman Kepala Penasehat Kerajaan
Menjelang Fajar
Kerajaan Sunda

Satya terus mencari keberadaan Dadan sejak empat hari yang lalu. Namun pergerakan sang buronan bagai angin. Saat terdengar dia di selatan, ada berita yang mengatakan bahwa dia di utara.

"Masih banyak kaki tangan dia yang tersisa. Jika bukan mereka, siapa lagi yang menyebar kabar burung itu," pikir Satya.

Sang putra mahkota termenung di markas perbatasan. Matanya menerawang menatap dinding anyaman bambu. Tangannya tak henti mengetuk senderan kursi dengan gelisah. "Aku harus segera menemukan bajingan itu sebelum dia kabur dari kerajaan ini," batin si pria.

"Kang!" panggil Aceng. Sang perajurit sedang berdiri di muka pintu. Terdapat selembar kertas berwarna putih kusam di tangannya. Dengan nafas yang masih terengah-engah, dia segera memberikan benda tersebut pada sang majikan. "Kang Dadan mengirim ini ke rumah Anda."

Satya segera membuka liptan kertas itu lalu membacanya. "Aku benar-benar senang karena dicari oleh seorang putra mahkota. Jika kau sangat ingin bertemu denganku, temui aku di tempat pertama kali kita bertarung."

Rahang sang pangeran mengeras. Tatapannya menajam penuh amarah. "Si Goblog!" umpatnya.

Acen sontak tertegun. Semarah apapun sang pangeran, dia hampir tidak pernah mengumpat.

Dahi sang pangeran berkerut. "Dengan kecepatan penuh pun kami baru bisa sampai saat matahari hampir tenggelam. Semua perajurit pasti akan kelelahan. Kita juga tidak tahu apa yang sudah bajingan itu siapkan di sana," batinnya.

Satya memukul senderan kursi dengan keras. "Tidak boleh ada alasan! Aku harus menangkapnya sekarang juga!" Ia membulatkan tekad.

"Siapkan kuda! Kita pergi ke Padepokan Ki Saka Koncara sekarang juga," tukas sang putra mahkota.

***

Kerajaan Goguryeo
Kediaman Kepala Penasehat Negara

Jimin duduk termenung menatap sang surya yang baru naik. Entah sudah berapa lama ia berdiam diri. Hawa dingin yang menusuk tulang tak membuatnya beranjak sama sekali.

Pikiran sang pangeran terus berkelut dan berputar. Kejadian kemarin membuat perasaanya campur aduk. Untuk pertama kalinya, ia melihat Kinanti mengamuk. Dirinya merasa begitu bersalah atas kejadian tersebut. "Seandainya aku lebih kuat dan bisa mengendalikan situasi, Kinanti tidak perlu turun tangan," pikirnya.

"Kenapa aku begitu lemah? Kenapa aku selalu harus mengandalkan orang lain?" gumam sang pangeran. "Jika saja aku bisa menghabisi mereka lebih cepat, Tuan Seta tidak harus menjadi perisai hidup untuk Kinanti." Si pria menenggelamkan wajah diantara lututnya. "Aku bahkan tidak bisa melindungi beliau. Bagaimana mungkin aku bisa melindungi negeri ini?"

Jimin menghela nafas berat. "Tujuan kami selanjutnya adalah kudeta. Semua kekuatan bertumpu pada Kinanti. Aku yang akan menjadi raja, tapi aku bahkan tidak bisa apa-apa."

Si pria mengeratkan giginya, menahan tangis. "Semua orang sangat hebat. Mereka memiliki kemampuan spesial yang sangat menonjol. Sedangkan aku hanya memiliki gelar kosong." Ia mengangkat sedikit kepalanya, menatap laut. "Haruskah aku menyerah?" Si pria mengeratkan pelukannya pada lutut. "Aku terlalu lemah untuk melindungi mereka semua."

"Lemah bukanlah alasan untuk menyerah."

Suara itu membuat Jimin menoleh. Ia melihat Asep yang tersenyum sendu berdiri di belakangnya. "Itu yang selalu Mang Seta katakan disaat latihan, kan?"

My Special QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang