Chapter 18

50 4 2
                                    

Pagi Hari
Di Kediaman Yoon-gi

Sedak tadi, Jimin berdiam di pelataran belakang kediaman itu. Ia hanya menatap kosong ke arah pepohonan sambil sesekali menghela nafas. Sementara di sisi lain rumah, Hoseok dan si tabib kembar sedang kewalahan menangani pasien yang terus berdatangan sejak kemarin.

Sang putra mahkota terlalu sibuk dengan pikirannya sampai tidak sadar dengan kedatangan Kinanti. Sang putri duduk di samping pria itu. Mereka berdua tidak mengatakan apapun.

“Ada perlu apa?” tanya Jimin memecah keheningan.

Kinanti menghela nafas. Tanpa menatap sang lawan bicara, si putri menjawab. “Tidak ada.”

Melihat reaksi Jimin yang membosankan, Gadis itu tersenyum misterius. Terbersat di pikirannya untuk menjahili pria tersebut.

“Di tempatku ada larangan untuk melamun. Apalagi di pinggir hutan. Arwah para penunggu tempat itu bisa saja merasukimu,” kata sang putri. “Aku di sini untuk menghalau mereka,” sambungnya.

Jimin mendengus sambil tersenyum miring. “Jangan mengatakan omong kosong," balasnya. "Terima kasih, tapi aku baik-baik saja.”

Kinanti tertawa kecil. “Orang yang biasanya selalu tersenyum dan ceria, kini diam setiap saat.” Sang putri melirik pria itu. “Aku rasa kau tidak baik-baik saja.”

Si pangeran tidak menjawabnya. Ia hanya menghembuskan nafas berat.

Rasa bersalah menghinggapi gadis itu. Ia seakan bisa memahami perasaan si pria. Bahkan hingga kemarin, kepalanya seakan mau meledak. “Maaf. Ucapanku keterlaluan,” ungkapnya penuh sesal. “Kau sudah melewati banyak hal belakangan ini.”

“Kita berdua sudah melewati banyak hal,” tanggap sang pangeran. “Daripada itu, kenapa kau masih di sini? Sebaiknya kau pulang saja dengan para bawahanmu. Di sini terlalu berbahaya.”

Si gadis menghela nafas. Bibirmya tersenyum pasrah. “Bagaimana mungkin aku meninggalkan kucing rumahan di tengah medan perang?”

Raut Jimin berubah jengkel. “Kenapa sejak kemarin kau terus berbicara tentang kucing? Nyawamu sedang dalam bahaya, Gongju!”

“Kau.” Kinanti menoleh dan menatap pria itu. Tidak ada kesan bercanda pada sorot matanya. “Aku tidak mungkin meninggalkanmu. Mereka tidak dapat membunuhku. Hal itu hanya akan merugikan kerajaan ini,” tutur sang putri. “Sebaliknya, kau yang sedang di buru di rumahmu sendiri. Nyawamu yang lebih terancam.”

Jimin memalingkan wajah. Hatinya terasa sakit. Bagaimana Kinanti bisa seyakin itu untuk membantu pangeran gagal sepertinya.

“Sepertinya kau terlalu terbawa suasana.” Si pria menghela nafas berat. “Sekarang Perjanjian Laut itu sudah tidak ada artinya. Lebih baik kau kembali. Lagipula dalam perjanjian itu tidak dituliskan bahwa kau harus menetap di sini selamanya.”

“Hey! Perjanjian Laut tidak ada hubungannya dengan ini. Aku hanya ingin menolongmu,” protes sang putri.

Tatapan si pria menajam. “Aku tidak pernah minta di tolong!”

Kesabaran sang putri kian menipis. Ia mendengus lalu mencengkram kerah baju lawan bicaranya. “Jongsin jom charyeo, Seja!” serunya penuh penekanan. “Segera angkat senjatamu ketika pedang musuh diarahkan!”
(Trans : Tolong sadarlah, Putra Mahkota!)

“Bagaimana aku bisa mengayunkan pedang jika ternyata musuh itu adalah adikku sendiri?” balas si pangeran. Tatapannya seolah menahan marah. Air mata mulai berkumpul di pelupuknya.

Kinanti menghela nafas panjang. Cengramannya terlepas. Ia menggenggam bahu si pria sebagai gantinya.

Dengan wajah tertunduk, sang putri kembali berucap, “Apa kau percaya bahwa Aj-“ Dia sontak menggeleng. “Maksudku, Apa kau percaya Pangeran Jungkook yang melakukan semua ini?”

My Special QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang