Chapter 10

37 5 0
                                    

Besoknya
Pagi Hari
Di Kediaman Satya

Sang putra mahkota dan istrinya sedang menunggu kedatangan Tuan Hong Jae di halaman rumah mereka.

Kemarin, Satya sudah bercerita kepada Citraloka tentang peti yang ditemukannya. Tentu saja, wanita itu sangat kaget. Hatinya begitu gundah memikirkan si bungsu.

Keduanya berdiskusi cukup lama agar bisa memilih keputusan terbaik. Mereka akhirnya sepakat untuk tetap merahasiakan penemuan peti itu dari sang prabu. Langkah awal yang diambil adalah menanyakan hal tersebut langsung pada Tuan Hong Jae.

Derap langkah kuda mengalih mengalihkan perhatian mereka.

Kulit putih bersih Tuan Hong Jae terlihat kontras dengan kulit sawo matang warga lokal. Ia turun dari kudanya dengan senyum simpul yang membuat wajahnya nampak lebih bersinar. "Sampurasun, Pangeran," sapanya ramah. Ia mengulurkan tangannya, mengajak Satya berjabat tangan.
(Trans : Permisi, Pangeran.)

Sang putra mahkota meraih tangan itu. "Rampes," jawabnya.
(Trans : Silahkan)

Di belakang Tuan Hong Jae, Aceng juga turun dari kudanya. Wajah pria itu nampak sangat lelah. Setelah menyisir hutan seharian, ia langsung berangkat ke ibu kota tanpa tidur.

"Tunggu sebentar," ucap Satya pada Tuan Hong Jae. Pria itu berbalik pada Aceng. "Kau sudah bekerja keras. Sekarang pulang dan istirahatlah," tukasnya.

Aceng menggeleng. "Tidak apa-apa, Kang. Saya masih bisa bekerja lagi."

Satya menepuk bahu pria itu. "Jangan memaksakan diri. Lihat saja matamu yang hampir tertutup."

Sang bawahan tidak bisa mengelak lagi. Ia menunduk malu.

"Lelah itu wajar. Sekarang istirahatlah." Meski nada bicaranya terdengar dingin, terselip kekhawatiran dalam ucapan sang putra mahkota.

Aceng mengalah. Ia mengangguk lalu pamit meninggalkan tempat tersebut.

Satya kembali beralih pada sang tamu. "Maaf membuat Anda menunggu. Bagaimana kalau kita berbicaranya di dalam saja?"

Tuan Hong Jae mengangguk ramah sebagai balasan.

***

Sang putra mahkota membawa Tuan Hong Jae ke ruang khusus yang terletak cukup jauh dari rumah utama. Citraloka juga mengikuti mereka.

Meski tidak mengatakan apapun, tatapan Tuan Hong Jae seolah meminta penjelasan.

"Ini merupakan ruangan khusus. Tempat membicarakan masalah krusial," papar si tuan rumah.

Wajah sang lawan bicara berubah serius. Aceng hanya mengatakan bahwa Satya ingin berbincang dengan dia karena sudah lama tidak bersua. Tuan Hong Jae sempat heran karena sang putra mahkota bukan orang yang senang berbasa-basi. Ternyata benar saja, ada masalah genting yang menunggunya.

Satya menatap sang istri. Ia seolah meminta tolong.

Citraloka yang paham langsung mengambil alih. Ia tahu, ini bukan masalah yang bisa dikatakan begitu saja. "Sebelumnya, saya minta maaf karena kami meminta Anda jauh-jauh datang kemari."

Tuan Hong Jae mengangguk. "Tidak apa-apa. Saya senang bisa berkunjung kemari," tanggapnya tersenyum sopan.

"Anda pasti sudah mendengar tentang perampokan berluang di perbatasan selama dua tahun terakhir. Mereka merupakan orang-orang terlatih yang mencuri rempah warga." Citraloka memberi jeda. "Segala cara sudah kami upayakan agar bisa menjerat mereka, termasuk menyembunyikan hasil bumi. Namun, para perampok itu malah semakin mengganas. Kemarin, mereka bahkan membakar seluruh lumbung padi milik warga."

My Special QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang