Jimin melangkah lunglai menuju markas sementara mereka yaitu kediaman Kepala Penasehat Negara sendiri. Rasa lelah yang menumpuk setelah seharian berlatih membuat mata si pria sangat berat menahan kantuk. Meski begitu, dirinya senang. "Setidaknya kini aku sudah sedikit lebih kuat," pikirnya.
Latihan tenaga dalam tadi membuat seluruh indera Jimin lebih tajam dibanding sebelumnya. Ia bisa merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. Si pria menoleh, melihat Kinanti yang duduk termenung menghadap samudera.
Sang pangeran terdiam cukup lama sebelum akhirnya memberanikan diri dan melangkah menuju Kinanti. Tanpa mengatakan apapun ia duduk di samping wanita itu. Kinanti pun seolah tidak keberatan dengan kehadiran si pria.
Keduanya diam cukup lama. Hanya deburan ombak dan suara helaan nafas berat sang putri yang terdengar.
"Kau pasti takut," ucap Kinanti membuka percakapan.
"Tidak," jawab Jimin santai. Ia menoleh melihat sang putri yang menatapnya bingung. Salah satu ujung bibir si pria naik. "Bukankah saat ini kau yang paling ketakutan dibanding siapapun?" Di balik senyumnya, terselip kesedihan dan rasa khawatir yang besar.
Kinanti tersentak. Kata-kata itu seolah memberi kesimpulan atas semua pikiran yang tercampur aduk di kepalanya. "Bagaimana aku tidak takut? Aku jatuh tenggelam dalam emosi hingga nyaris membunuh semua orang yang paling ingin kulindungi."
Tak sadar, air mata sang putri sudah jatuh membasahi pipinya. Tubuhnya bergetar hebat menahan gejolak emosi. Namun sepasang tangan hangat seolah melenyapkan semua ketakutan itu.
Sang pangeran mendekapnya erat. Sambil berbisik Jimin berkata, "Menangislah jika itu membuatmu sedikit lebih baik. Aku akan melindungi dan memastikan tidak ada yang melihatmu."
Pecah sudah tangis yang ditahan Kinanti sejak tadi. Ia menumpahkan segalanya dalam pelukan sang pangeran.
***
Malam semakin gelap. Kini sang putri sudah jauh lebih baik. Meski begitu, baik Kinanti maupun Jimin sama-sama terdiam. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.
Semilir angin malam yang dingin membuat Jimin menyilangkan tangan di depan dadanya. Sebenarnya ia ingin membawakan selimut atau apapun untuk Kinanti, tapi di saat yang sama, dia tidak mau meninggalkan wanita itu sendirian. Dia juga tidak ingin mengganggu sang putri dengan memaksanya kembali ke dalam.
Tiba-tiba si pria teringat akan sesuatu. Ia mengambil sebuah hiasan rambut dari lengan bajunya lalu memakaikan benda tersebut pada Kinanti.
Sang putri yang kaget sontak berbalik menatap Jimin penuh tanya.
Si pria memalingkan wajah, menghindari kontak mata. Jantungnya solah akan meledak jika tidak seperti itu. Ia berdeham sebelum menjelaskan, "Aku beli itu di pasar sebelum berangkat ke Silla. Kupikir itu cocok untukmu, tapi aku salah."
Wajah sang putri yang semula berseri seketika berubah jengkel. "Maksudmu aku membuat beda ini menjadi jelek, begitu?"
"Tidak. Kau memang sudah cantik lalu hiasan rambut itu membuatmu semakin cantik hingga aku tak sanggup menatapmu lagi." Kalimat sang pangeran cukup untuk membuat pipi Kinanti bersemu merah.
Mereka berdua saling menatap. Suara detak jantung berpacu dengan deburan ombak. Suasana malam yang semakin dingin seolah lenyap begitu saja. Akal sehat keduanya sudah kalah dari naluri alami. Tanpa sadar mereka mulai mendekatkan wajah satu sama lain.
"Néng!" Teriakan Usep sontak membuat Jimin dan sang putri menjauh.
"Kenapa selalu ada yang merusak suasana," gerutu sang pangeran dalam hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Special Queen
FanfictionKinanti, Putri Kerajaan Sunda pergi ke Kerajaan Goguryeo untuk memenuhi Perjanjian Laut yang dibuat 10 tahun lalu. Perjanjian itu mengharuskan sang putri menikah dengan Putra Mahkota negeri tersebut, Jimin. Saat mereka resmi menjadi Raja dan Ratu, K...