Part 38 - Kritis

1.4K 243 17
                                    

Sudah hampir seminggu Lea masih setia dengan posisinya. Tubuh yang terbaring bersama selang-selang medis dengan mata yang terpejam. Sudah hampir seminggu lamanya juga Aldebaran dan Andin menghabiskan waktunya di rumah sakit untuk sekedar menunggu putrinya membuka matanya.

Andin sudah mengabari mama dan papanya atas kabar tak sedap ini. Tak tinggal diam, Papa Surya dan Mama Sarah pun langsung menuju ke rumah sakit.

Kedua orang tua Andin juga sempat menginap di rumah sakit untuk menggantikan posisi Andin dan Aldebaran. Namun, Andin tidak tega jika kedua orang tuanya harus berdiam di rumah sakit untuk waktu yang lama. Ditambah jarak antara rumah Papa Surya dan rumah sakit yang tidak dekat, serta pekerjaan mereka yang tidak bisa ditinggalkan dalam waktu yang lama.

Tidak lain seperti Andin, Aldebaran juga tidak mengizinkan kedua orang tua dan adiknya untuk menginap di rumah sakit dalam waktu yang lama. Mereka hanya datang ke rumah sakit saat Aldebaran ada urusan yang sangat mendesak dan Andin pulang ke rumah untuk menyusui Azka.

Seperti malam tadi, kedua orang tua Aldebaran datang untuk mengetahui perkembangan Lea dan membawakan makanan. Bukan Aldebaran namanya jika tidak teguh dengan pendiriannya. Benar saja, saat Papa Gunawan menawarkan diri untuk menggantikan posisinya, ia langsung menolaknya.

'Udah ya, mama sama papa pulang aja. Sebentar lagi juga kan Lea sembuh, ngapain harus ditungguin banyak orang disini. Mama sama papa tunggu dirumah aja ya, besok aku pasti bawa Lea pulang kok. Biar bisa main sama kita semua.' ucap Aldebaran meyakinkan mama dan papanya itu.

Tidak bisa menolak permintaan anaknya, akhirnya mereka memutuskan untuk pulang. Ditambah ada Azka yang harus mereka jaga.

• RS. ROYAL PREMIER JAKARTA
Pukul 08.15 WIB
'Mana ya mas, kok tumben dokternya belum dateng.' ucap Andin sambil menyenderkan kepalanya di pundak Aldebaran.
'Sabar ndin, mungkin sebentar lagi.'

Baru sedetik Aldebaran menutup mulutnya. Dari arah timur terlihat seorang berjalan dengan atribut serba putih ditemani seorang suster disampingnya menghampiri Aldebaran dan Andin.

'Selamat pagi Pak Al, Bu Andin.' sapa dokter Ivan.
'Selamat pagi dok.' balas Andin.

'Hari ini jadwal rutin pemeriksaan kondisi Lea. Saya masuk dulu ya pak, bu.'
'Silahkan, berikan yang terbaik untuk anak saya ya dok.' ucap Aldebaran.
'Saya usahakan pak.' ucap dokter Irvan sambil tersenyum ragu.

Kini mereka berdua sedang menunggu hasil pemeriksaan anaknya di ruang tunggu. Ruangan yang sudah enam hari ini menjadi ruangan yang paling sering mereka tempati. Suasana dingin dan sunyi sudah menjadi sahabat bagi mereka. Saling menguatkan dan memberikan pelukan satu sama lain menjadi sumber kekuatan mereka saat ini.

'Kamu udah makan ndin?'
'Belum mas.'
'Makan dulu sana, nanti kamu sakit saya sendirian disini.'
'Aku nggak mau makan mas, sebelum aku tau kondisi Lea.'

'Percaya sama saya, setelah dokter keluar dari ruangan itu, dia pasti langsung bilang kalau kondisi Lea udah sangat membaik dan besok bisa pulang sama kita.' ucap Aldebaran sambil menunjuk ruang ICU.

Andin menghela nafasnya sambil menggelengkan kepalanya.

'Kamu mau besok waktu Lea udah sadar dia sedih lihat mamanya sakit gara-gara nggak mau makan?'
'Iya ini aku makan, tapi kamu juga harus makan.'

'Saya nanti aja ndin, kamu dulu.'
'Ya udah lah aku nggak jadi makan, kalau kamu juga nggak makan.'

Andin langsung meletakkan kotak makan yang ia bawa dan berusaha untuk menutupnya kembali.

'Ya udah iya saya makan sama kamu.'
'Nah gitu dong mas, kita kan sama-sama butuh tenaga.'
'Kalau sama kamu tenaga saya selalu penuh ndin.'

Mendengar gombalan dari suaminya yang sangat kaku, Andin langsung tersedak hingga batuk.

'Kamu kenapa ndin, ini minum.' ujar Aldebaran sambil memberikan minum kepada Andin.
'Makasih mas, enggak aku kaget aja denger suami aku gombal.'

'Siapa yang gombal?'
'Kalau urusan gini aja suka pura-pura lupa.'

'Andin, kalau makan jangan sambil ngomong ya!'
'Belum aja ada semenit romantis, sekarang udah kaku lagi.' ucap Andin sambil melanjutkan makannya.

Sepuluh menit Aldebaran dan Andin menghabiskan waktu untuk makan berdua di ruang tunggu. Mereka berdua tampak lebih tenang dibanding hari-hari sebelumnya. Canda tawa perlahan terukir di wajah mereka.

'Alhamdulillah..'
'Udah kenyang mas?' tanya Andin sambil membereskan perlengkapan makannya.
'Udah ndin.' jawab Aldebaran sambil mengusap perutnya.

'Kok ini tumben lama banget ya mas. Biasanya juga cuma dua puluh menitan.'
'Udah ya, sebentar lagi selesai kok. Yang penting kamu berdoa aja semoga semuanya baik-baik aja.'
'Amin..'

Setengah jam sudah berlalu, kini Dokter Ivan keluar dengan membawakan laporan diatas papan berwarna coklat. Melihat pintu ICU terbuka, sontak Aldebaran dan Andin langsung berdiri.

Tidak ada sedikitpun senyum di wajah dokter berusia 35 tahun itu. Mukanya pun nampak sangat serius.

'Gimana dok? Bagaimana perkembangan Lea anak saya?' ucap Andin.
'Begini bu Andin, kami sudah melakukan beberapa pemeriksaan.'

Aldebaran melangkahkan kakinya untuk lebih dekat dengan dokter Ivan.

'Jadi bagaimana keadaan anak saya dok?'

'Menurut beberapa pemeriksaan medis yang telah kami lakukan, hingga saat ini belum ada perkembangan dari anak bapak. Dan harus dengan berat hati saya sampaikan bahwa saat ini Azalea berada di tahap kritis.' ucap Dokter Ivan sambil sedikit menunduk.

Kritis? Ini bukan kali pertama Aldebaran mendengar kata yang menyakitkan itu. Ia kembali hancur saat mendengar kata itu keluar langsung dari mulut sang dokter.

Lagi-lagi Andin merasakan hal yang sama. Shock yang begitu parah dibandingkan saat ia mendengar kata 'kanker' untuk pertama kali. Ia berusaha menggapai tembok untuk menumpu badannya.

'Nanti ibu dan bapak boleh diizinkan masuk tapi harus menggunakan baju steril yang sudah disediakan oleh pihak rumah sakit. Saya akan melakukan pemeriksaan terakhir pada Azalea dulu ya pak, bu. Permisi.' ucap Dokter Ivan meninggalkan pasangan yang sedang hancur itu.

Dengan kaki yang sudah sangat lemas, tiba-tiba Andin terduduk lemas di kursi tunggu. Ia memegang kepalanya yang sudah ingin pecah. Rasanya sedang ada peperangan hebat di kepalanya itu.

Merasa tidak tega melihat istrinya yang begitu terpuruk, Aldebaran duduk disampingnya sambil mengelus lembut pundaknya dan langsung memeluk Andin.

Karena efek magis dari pundak suaminya itu, tangisan Andin kini sudah berubah dengan isakan-isakan yang hanya mampu didengar oleh pemilik dan penenangnya.

'Saya tau kamu hancur banget ndin, tapi saya lebih dari itu. Kata kritis yang harus saya dengar untuk kesekian kalinya. Satu tahun yang lalu saya mendengar kata ini didepan ruang bersalin dan hari ini saya harus mendengarnya lagi. Saya nggak sanggup ndin, saya hancur ndin.' batin Aldebaran.

Tidak terasa bulir bening berhasil lolos dari mata tajam Aldebaran. Dengan sigap ia langsung menghapusnya karena ia tak ingin Andin tambah rapuh ketika melihat penenangnya juga hancur bersamanya.

'Udah ya, saya nggak mau kamu terus-terusan kayak gini.'
'Lea mas..'
'Kamu nggak percaya kalau besok Lea bakal pulang sama kita? Besok Lea udah bisa main sama kita lagi ndin.' ucap Aldebaran menenangkan sang istri.

.
.
.

- tbc -

Bersenyawa 2 -Aldebaran & Andin-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang