Part 46 - Menolak

2.3K 319 45
                                    

     Semenjak kejadian kemarin, Andin belum memberi tahu hal ini pada siapapun. Karena sejujurnya ia belum siap atas apa yang terjadi pada dirinya.

Dua kali merasakan kehilangan anak bukan hal yang mudah untuk dilupakan begitu saja. Dirinya masih merasakan trauma yang begitu mendalam. Ia terus berperang dengan pikirannya sendiri hingga menimbulkan kontradiksi yang begitu sulit.

Hingga tiba-tiba ia terfikir akan sesuatu yang cukup kejam bagi seorang ibu. Aborsi. Ya, andin berfikir akan mencoba menggugurkan kandungannya sebelum semua orang mengetahui atas kehamilannya itu.

• KAMAR AL & ANDIN
Pukul 08.15 WIB
Aldebaran baru keluar dari kamar mandi. Ia melihat sang isteri sedang duduk di tepi ranjang sambil melamun.

'Ndin, kamu nggak mau langsung mandi?' sapa Al.
'Eh mas, udah selesai mandinya?
'Udah daritadi.'

'Maaf ya mas, aku nggak liat. Emm, aku lagi males mandi mas, nanti aja deh.' ucap Andin sambil mendekat ke arah Aldebaran.

Aldebaran menatap Andin begitu dalam, sambil berpikir apa yang sebenarnya terjadi pada isterinya itu. Karena ia perhatikan, sejak semalam sikap Andin mulai berubah. Ia cenderung lebih banyak diam dan sering melamun, seolah ada sesuatu yang ia pikirkan.

Ketika Al mencoba bertanya, Andin selalu menyangkal dan mengalihkan pembicaraan. Hal itu justru membuat Aldebaran curiga dan khawatir.

'Kamu kenapa sih ndin? Dari semalem saya perhatiin kamu sering melamun, lebih banyak diem. Kenapa? Kalau ada masalah itu cerita sama suaminya, jangan disimpen sendiri.'

'Apaan sih kamu mas? Perasaan kamu aja kali. Nggak ada masalah apa-apa kok.' ucap Andin sambil merapikan jas suaminya.

Aldebaran menghela napasnya.

'Kamu hari ini ada meeting?' sambung Andin mengalihkan pembicaraan.
'Ada nanti siang jam 1.'

'Semangat ya sayang, semoga semua urusan kamu hari ini lancar.'
'Amin, makasih ya.'

'Saya berangkat dulu ya ndin, titip Mama sama Azka.'
'Pasti mas. Hati-hati ya, jangan ngebut.'
'Iya.'

Aldebaran telah pergi ke kantornya, tersisa Andin di kamar itu sendirian.

Azka sudah dibawa oleh Mirna untuk sarapan. Semenjak kepergian Lea, rutinitas Mirna pun berubah. Ia yang notabene nya adalah babysitter Lea kini lebih banyak membantu Andin dalam mengurus Azka.

Berada di kamar sendirian dengan kondisi yang cenderung sepi membuat Andin langsung teringat akan pemikirannya semalam.

Andin paham betul bahwa tindakan itu adalah dosa besar. Membunuh anak yang sama sekali tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa. Tapi rasa ketakutannya akan kehilangan anak seakan menutupi semua akal sehatnya.

Ia mencari beberapa jenis makanan yang bisa membantu untuk mengugurkan kandungan di internet.

'Nanas.. Aku coba cari dulu ah, mudah-mudahan di kulkas masih ada jadi aku nggak perlu beli ke supermarket.'

Andin bergegas turun ke dapur dan mencari nanas di dalam kulkas. Beruntung stok buah-buahan di Pondok Pelita cukup banyak, jadi Andin tidak perlu membelinya lagi.

'Loh mba Andin, cari apa mba?' ucap Kiki yang baru datang dari arah ruang tamu.
'Em, ini lagi cari nanas Ki.'

'Nanas? Tumben mba Andin makan nanas, banyak banget lagi. Ini buat mba Andin sendiri?'
'Iya Ki, emang kenapa?'
'Nggak apa-apa sih mba, cuma tumben aja.'

'Ya udah aku ke kamar dulu ya.'
'Oh iya mba.'

Sesampainya di kamar, ia duduk di sofa kamarnya dan meletakkan nanas yang sudah dikupas itu di meja depannya.

Andin melihat ke arah perutnya, kemudian mengelusnya. Saat ini yang ia rasakan hanyalah rasa takut. Takut karena ia tahu bahwa hal ini adalah sebuah dosa besar, tapi disisi lain ia tidak sanggup jika nantinya ia harus kehilangan anak lagi.

'Nak, maafin mama, mama harus ngelakuin ini. Mama nggak punya pilihan lain nak, mama nggak sanggup kalau nantinya Allah ambil kamu dari mama.' batin Andin.

Andin mengambil sepotong nanas itu dengan tangan gemetar, air mata nya tak terbendung lagi, isi pikirannya pun hanya dipenuhi rasa takut.

'Aku harus bisa habisin semua nanas ini, ayo Andin kamu pasti bisa.' batin Andin sambil mulai memakan sepotong nanas itu.

Andin memakan beberapa potong nanas itu dengan cepat, ia takut jika tiba-tiba ada orang yang mengetuk pintu kamarnya dan menanyakan mengapa Andin makan nanas sebanyak itu di kamar.

Kini tujuh potong nanas sudah habis dimakan Andin, tersisa lima potong lagi yang harus ia habiskan.

'Aduh kok aku jadi mual banget ya? Apa emang ini reaksi dari nanas nya?'
'Hoek.. hoek..' mual Andin sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

'Ayo Andin, kamu harus bisa. Sedikit lagi.' batin Andin.

Kini semua potongan nanas itu telah habis tak tersisa. Andin pun akan menunggu sekitar 30 menit untuk melihat reaksinya.

Belum sampai 30 menit, Andin sudah merasakan gejolak yang hebat didalam perutnya.

'Sstt aduh, kok perut aku mules ya? Apa ini reaksi nanas tadi?'

Terhitung sudah tiga kali Andin bolak-balik toilet. Sejujurnya ia juga sudah sangat lelah, tenaganya habis hanya untuk sekedar keluar masuk tempat kecil tersebut.

Merasa reaksinya sudah mulai mereda, Andin merebahkan dirinya diatas kasur. Diusap perutnya perlahan dengan harapan rasa sakitnya dapat segera menghilang.

'Tanpa sadar kehilangan sudah membuatku hilang arah dan tujuan. Hari itu benar-benar mengerikan dan membuatku hancur. Rasa takut dan trauma itu seketika langsung menguasai pikiranku, sementara aku hanya diam membisu mengikuti arah kemana dia pergi.' batin Andin.

Sepuluh menit berlalu, dirinya masih belum beranjak dari tempat tidurnya. Perlahan namun pasti, rasa sakit itu sudah mulai hilang.

Pintu kamar terbuka, memperlihatkan seorang lelaki yang baru saja pulang dari kantor. Tak seperti biasanya, raut wajahnya berubah saat melihat istrinya yang sedang terbaring lemas. Padahal biasanya Andin selalu memberikan senyum terbaik saat menyambut suaminya pulang.

'Assalamualaikum'
'Waalaikumsalam. Mas, udah pulang.'
'Iya ndin.'

'Kamu kenapa? Kamu baik-baik aja kan? Kok kayak lemes banget ndin?'
'Nggak apa-apa mas, cuma kecapean aja kayaknya.'

Aldebaran duduk disamping Andin sambil mengusap tangannya.

'Saya tau kamu bohong kan sama saya? Coba jujur sama saya ndin, kamu sakit?'
'Enggak mas, cuma daritadi lagi bolak-balik ke toilet aja, perut aku mules banget.'

'Mules? Kok bisa? Kamu salah makan? Kita ke rumah sakit ya.'
'E-enggak nggak usah mas. Ini juga udah jauh mendingan kok, tadi juga udah minum obat.'

'Nggak apa-apa gimana sih ndin? Ini kamu lemes begini. Udah kita ke rumah sakit aja ya.'
'Enggak usah mas. Percaya sama aku, aku nggak apa-apa kok, kamu tenang ya.'

'Beneran kamu nggak apa-apa?'
'Iya mas, paling cuma butuh istirahat aja sekarang.'
'Ya udah kalau kamu maunya gitu, tapi beneran istirahat ya. Nanti urusan Azka biar saya yang handle'
'Iya sayang.'

Tidak membutuhkan waktu yang lama, Andin sudah menyatu dengan alam mimpinya. Dilihatnya wajah teduh isterinya yang menenangkan. Rasa lelah itu tergambar jelas pada muka cantik milik Andin. Walaupun ia selalu berkata baik-baik saja, namun fisiknya tidak mampu berbohong.

Aldebaran mengusap lembut kepala Andin, berharap istrinya itu dapat tidur lebih nyenyak. Setelah dirasa aman, ia segera membersihkan diri dan menepati janjinya untuk menjaga dan mengajak Azka bermain.

.
.
.

- tbc -

Bersenyawa 2 -Aldebaran & Andin-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang