Part 39 - Berserah

1.1K 225 13
                                    

     Wajah rupawan yang mampu menyejukkan hati gundah itu, menyimpan seribu misteri yang mematahkan hati. Dibalik senyum yang menenangkan itu, tertoreh luka yang menyayat hati.

Tidak ada yang bisa dilakukan oleh kedua orang tua Azalea itu selain menunggu keajaiban dari Sang pemilik kehidupan ini.

Disela-sela tangisan Andin ada seorang wanita menggunakan topi berbentuk trapesium keluar dari ruang ICU.

'Keluarga dari pasien Azalea?'

Mendengar panggilan sang suster, sontak Aldebaran dan Andin langsung menghampiri sumber suara.

'Gimana kondisi anak saya sus? Apa saya dan isteri saya boleh masuk?'
'Bapak dan ibu diperbolehkan masuk, asalkan tidak lebih dari 2 orang. Oiya, sebelum masuk harus menggunakan pakaian steril dan mencuci tangan terlebih dahulu ya.'

'Baik sus.'
'Mari ikut saya pak, bu.'

Sesampainya di ruangan yang penuh dengan alat-alat mengerikan itu, Andin dan Aldebaran langsung menghampiri ranjang putri kecilnya.

Dilihatnya mata indah seorang gadis yang selama ini mereka lihat dan mereka dengar canda tawanya masih terpejam.

Mulutnya yang selalu mengeluarkan kalimat lucu dan sopan kini tertutup dengan selang. Tangan yang selalu digunakan untuk mengelus adiknya kini tergeletak lemas dengan selang kecil diatasnya.

Hancur sudah perasaan Andin, sosok putri lemah lembut yang paling ia cintai kini dengan kondisi yang sangat mengenaskan.

'Sayang..' ucap Andin langsung mencium dahi Lea.
'Sayang bangun yuk, kasihan adek dirumah nungguin kakak terus. Katanya kakak mau ajarin adek ngelukis, nanti mama beliin alat lukis yang paling bagus buat Lea.' lanjutnya dengan air mata yang sudah membasahi wajahnya.

Akhirnya pertahanan Aldebaran runtuh juga, ia tak sanggup melihat kedua orang yang dicintainya seperti ini. Putri kecilnya yang sedang berada diantara hidup dan mati, sedangkan istrinya yang terus menangisi sang putri. Rasanya seperti ia ditusuk dengan dua belati sekaligus di dadanya.
Sesak, itulah yang saat ini ia rasakan.

Sambil mengelus lembut pundak istrinya, Aldebaran juga menghapus air matanya.

'Lea sayang, anak papa yang paling cantik. Lea bertahan ya nak. Disini ada papa sama mama yang selalu nungguin Lea buat pulang. Dirumah juga udah ada opa, oma, om Roy, dan adek nungguin kakak pulang. Lea bangun ya sayang.' ucapnya dengan suara yang dipaksakan kuat.

'Papa mohon banget sama Lea, bertahan ya sayang. Seenggaknya demi roti cokelat setiap hari jumat yang papa beliin buat Lea.' lanjut Aldebaran sambil mencium putrinya itu.

Karena terhalang oleh peraturan rumah sakit, waktu berkunjung Aldebaran dan Andin sudah habis. Mereka dihampiri suster yang mengingatkan bahwa saat ini mereka harus keluar.

Aldebaran keluar sambil merangkul istrinya. Berharap ia dapat memberikan kekuatan pada Andin. Walaupun dirinya sendiri juga sangat hancur.

'Sekarang udah masuk waktu dzuhur ndin, kita ke masjid yuk.' ajaknya.

Andin tidak menjawab. Wanita itu masih bergelut dengan pikirannya sendiri. Setelah melihat kondisi Lea, ia seperti sedang memegang bom waktu yang kapan saja bisa meledak.

Dengan anggukan kecil, ia menyetujui ajakan suaminya itu.

Dua puluh menit berlalu kini mereka telah selesai memohon pada pemilik roh manusia. Mereka kembali ke ruang tunggu dengan perasaan yang sedikit lebih tenang.

Saat sampai di ruang tunggu, Aldebaran terkejut karena sudah ada asisten pribadinya yang duduk menunggunya.

'Loh Ren, kok kamu disini?'
'Maaf pak, saya udah coba menghubungi bapak tapi tidak ada balasan.'
'Tadi saya abis shalat dzuhur ren, jadi handphone saya silent. Ada keperluan apa kamu kesini?'

'Ini pak, ada berkas penting yang harus bapak tanda tangani.' ucap Rendy sambil menyodorkan beberapa berkas.
'Tolong nanti kamu letakkan ini di rumah saya saja. Karena untuk waktu yang tidak bisa ditentukan, saya belum bisa datang ke kantor lagi.'

'Baik pak. Kalau boleh tau kondisi Lea bagaimana pak?'
'Kamu bisa lihat sendiri ren, kondisinya masih sama. Bahkan tadi pagi dokter bilang Lea kritis.'
'Astaghfirullahaladzim, bapak yang sabar ya. Saya yakin semua ini akan berakhir pak.'

'Amin, terimakasih ren.'
'Baik pak, kalau begitu saya pamit dulu ya pak. Karena saya harus mewakili meeting bapak sore nanti.'

'Sebelum kamu pulang saya boleh minta tolong ren?'
'Boleh pak, minta tolong apa ya?'

'Saya minta tolong sama kamu untuk ambilkan sepatu kaca milik Lea di bagasi mobil saya. Ini kuncinya.' jelas Aldebaran sambil memberikan kunci mobil merk mercedes itu kepada Rendy.
'Baik pak.'

Tidak perlu menunggu lama, asisten pribadi Aldebaran yang dikenal sangat cekatan itu datang dengan membawa paper bag ditangan kanannya.

'Ini sepatunya pak dan ini kunci mobil bapak.'
'Makasih ya ren.'
'Sama-sama pak. Saya pamit pulang dulu ya pak, bu.'
'Ya ren.'

Aldebaran langsung meletakkan paper bag yang berisi sepatu kaca itu disamping kursi tempat duduknya.

'Kenapa kamu suruh Rendy bawa sepatu kaca Lea kesini mas?'
'Biar besok kalau Lea udah sadar, saya bisa langsung pakein sepatu ini ke dia ndin. Pasti dia seneng banget.'
'Iya ya mas, apalagi dia kan suka banget sama sepatu ini.'

• RUMAH ALDEBARAN
Pukul 14.15
Rendy berjalan masuk kedalam rumah bos nya itu untuk meletakkan beberapa berkas yang sudah ditandatangi Aldebaran. Tidak sengaja, ia bertemu dengan Mama Rossa dan Papa Gunawan yang sedang bermain bersama Azka. Semenjak Lea dirawat di rumah sakit Papa Gunawan sengaja mengosongkan sebagian jadwalnya untuk menjaga Azka dirumah.

'Loh ren, kok kamu disini? Aldebaran nggak ada.'
'Iya pak, saya kesini cuma mau naruh berkas ini ke ruangannya Pak Al.'
'Berkas kosong ren?'
'Tadi saya udah minta tanda tangan Pak Aldebaran di rumah sakit pak.'

'Tadi kamu mampir ke rumah sakit?' tanya Mama Rossa.
'Iya bu, saya mampir ke rumah sakit untuk minta tanda tangan Pak Al.'

'Terus gimana kondisi Lea sekarang?'
'Tadi Pak Al memberitahu saya bahwa Lea sedang kritis bu.' ucapnya dengan nada tak tega.

'Apa? Lea kritis?'
'Mah udah mah, tenang ya, ada Azka disini.' ucap Papa Gunawan sedikit berbisik.
'Maaf pak, bu saya izin ke ruangannya Pak Al dulu.'
'Silahkan ren.'

'Pah, ini kok kondisi Lea semakin kritis gini sih. Ayo sekarang kita ke rumah sakit.'
'Mama tenang dulu ya, percaya sama papa kalau Lea bakal baik-baik aja.'
'Gimana mau tenang pa, Rendy barusan bilang kalau Lea kritis pah, kritis!'

'Iya papa paham, tapi mama juga harus ngerti disini ada Azka. Kita nggak mungkin ninggalin dia sendiri, apalagi dia lagi nggak mau sama siapa-siapa kecuali kita.'

Mama Rossa masih terdiam mendengar ucapan suaminya itu.

'Nanti kalau kita kesana, pasti Al nyuruh kita untuk pulang mah. Kita juga nggak bisa nambah beban pikiran mereka. Kita kesananya besok pagi aja ya mah.'

'Oma.. let's go.' celoteh Azka.

'Tuh kan mah, Azka ngajak kita main. Udah ya, yang penting kita berdoa aja.' ucap Papa Gunawan sambil mengelus punggung istrinya itu.

Mama Rossa menatap sendu cucu laki-lakinya itu. Disatu sisi ia sangat cemas dengan keadaan Lea, namun disisi lain ia juga tidak boleh meninggalkan Azka sendiri.

'Kakak..' ucap Azka dengan nada bayinya.
'Iya kakak lagi di hotel dokter sayang, besok kakak pasti pulang kok. Azka main sama opa dan oma dulu ya.' ucap Papa Gunawan sambil menggendong cucu gembulnya.

'Yang penting mamah berdoa terus ya, minta kesembuhan Lea sama Allah. Karena nggak ada yang bisa kita lakuin selain memohon pertolongan sama Allah.' lanjut Papa Gunawan sambil mengelus punggung tangan istrinya itu.

'Iya pah.' ucap Mama Rossa sedikit sesak.

.
.
.

- tbc -

Bersenyawa 2 -Aldebaran & Andin-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang