Tidak.
Riona sama sekali tak menginginkan akhir kisah yang seperti ini dalam hidupnya. Rasa sakit akibat tusukan belati di dadanya itu semakin menyebar, membuat syaraf-syaraf di tubuhnya terasa lumpuh.
"T-tolong," rintih Riona kesakitan.
Tangannya berusaha menggapai kaki salah satu putranya, tetapi malah tendangan keras dan tatapan penuh kebencian yang ia dapatkan.
"Apa? Mama minta tolong? Tuh, Bang. Katanya Mama minta tolong tadi," ucap Morfeo disertai tawa melengking yang terasa menakutkan bagi Riona.
Sementara ketiga putranya yang lain tak jauh berbeda. Mereka hanya menatap tubuh tak berdaya Riona yang berlumur darah itu dengan dingin, sorot matanya terisi penuh akan kebencian.
"Mama minta tolong? Tapi maaf, Mama sama sekali enggak berhak mendapatkan pertolongan dari kita berempat," sahut Kiel, putra ketiga Riona yang diangguki oleh ketiga saudaranya.
"Apa yang Mama rasakan sekarang sama sekali enggak ada bandingannya dari apa yang kami rasakan dulu," ujar Vian, pria dengan rambut blonde yang tak lain adalah putra sulung Riona.
Seulas senyum miring tampak tercipta di wajahnya. "Apa dulu Mama pernah mau dengar suara minta tolong kami berempat? Apa dulu Mama pernah mau memberikan sedikit aja rasa kasihan Mama saat kami memohon sampai berlutut di depan Mama? Apa dulu Mama pernah lakukan itu? Enggak, yang Mama tahu cuma nyiksa kami."
"Rasa sakit yang Mama rasakan sekarang enggak sebanding dengan sakit hatinya Morfeo saat Mama seret dia pulang dan permaluin dia di pertandingan basket. Rasa sakit yang Mama rasakan sekarang enggak sebanding dengan yang dirasakan Zadkiel saat Mama mukul dia habis-habisan karena dia menang lomba masak."
"MAMA ENGGAK PERNAH SEKALIPUN KASIHAN SAMA KAMI!" teriak Vian penuh emosi.
Riona tertegun di tengah-tengah rasa sakitnya. Air bening mengalir dengan deras begitu saja dari kedua pelupuk matanya. Ia menangis bukan karena rasa sakit di tubuhnya dan akibat tusukan Morfeo, tetapi karena pengakuan keempat putranya.
Hatinya seperti dihantam sebuah batu yang besar, membuat dadanya sesak. Kini ia sadar bahwa perlakuannya selama ini kepada keempat putranya adalah sebuah kesalahan besar.
Riona ingin meminta maaf.
Ia ingin memeluk putra-putranya dan membawa mereka dalam lautan kasih sayang. Namun ia tahu, semuanya sudah terlambat. Ia sudah terlalu terlambat untuk mengakui kesalahannya dan meminta maaf.
Rasa dendam, trauma, sakit dan amarah semuanya itu sudah bercampur dalam hati mereka karena perbuatannya.
"Tahu gak? Mama sama sekali enggak pantas mendapat sebutan sebagai seorang ibu, karena di dunia ini Mama adalah ibu paling kejam!" ucap Azriel sebelum melangkah pergi bersama saudaranya yang lain.
Mereka berjalan meninggalkan raga tak berada Riona yang sudah berada di ujung kesadaran tanpa berniat menoleh sedikit pun.
"M-maafin Mama, Nak," gumam Riona sebelum kesadarannya benar-benar hilang. "Seandainya aku memiliki satu kesempatan lagi .... "
Rasa penyesalan yang sangat besar menemani akhir hidupnya, dan rasa penyesalan itu pula yang dibawa oleh jiwanya setelah kematian.
Rasa penyesalan itu pula yang memberatkan jiwanya, membuat jiwanya tertahan dan terus memelas kasih pada sang Moirai.
----
Haii! Aku kembali lagi dengan cerita baru dan tema yang pastinya lebih fresh untuk kalian.
Kalau tiga ceritaku sebelumnya mengangkat tema remaja, kali ini aku bawa tentang keluarga dengan sedikit bumbu fantasi ringan.
Siap memasuki dunia kehidupan Riona Amara dan keluarga kecilnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Be a Good Mother [Terbit]
RomanceRiona Amara tak pernah menyangka jika ia akan meninggal karena dibunuh oleh keempat putranya sendiri dan mati dalam penyesalan. Namun, di tengah penyesalan itu tiba-tiba saja ia kembali terbangun di masa lalu, tepat lima tahun sebelum kejadian pembu...