Casvian berjalan dengan langkah tegas dan penuh amarah, ia menatap tajam siapa saja yang melewati dan menyapanya. Begitu sampai di depan ruangan Wylan, ia langsung membuka pintu itu dengan sedikit kasar.
Tak peduli dengan etika atau sopan santun pada ayahnya.
"Vian, pelan-pelan," tegur Riona seraya meringis kecil.
"Ada apa, Vian? Kamu kenapa kayak marah gitu sih?" tanya Wylan keheranan. Jarang sekali ia melihat putra sulungnya itu dipenuhi amarah seperti sekarang.
Casvian menghentikan langkah seraya menghela napas berat sejenak. "Vian enggak mau tahu, pokoknya Papa harus pecat resepsionis Papa di lantai satu itu. Kalau Papa enggak pecat, Vian yang bikin pelajaran ke dia."
Wylan yang tak mengerti dengan maksud dari Casvian hanya bisa menolehkan kepala dan menatap Riona dengan salah satu alis yang dinaikkan.
"Coba jelasin dulu, jangan kayak gitu. Memangnya resepsionis Papa itu kenapa, Nak? Dia bikin masalah sama kamu?" tanya Wylan hati-hati.
Dalam hati Wylan meringis dan mengutuk resepsionis yang baru ia pekerjakan dua minggu itu. Apalagi yang dia perbuat sampai membuat putranya semarah ini.
"Papa harus tahu kalau resepsionis Papa yang murahan itu berani cari masalah sama Mama. Kalau dia cari masalah sama Vian doang, Vian enggak apa-apa. Tapi, Vian enggak bisa terima kalau dia cari masalah sama Mama," ucap Casvian mencak-mencak. "Dia katain Mama sales cuma gara-gara pakaian Mama yang enggak rapi."
Kening Wylan mengerut dengan kepala yang mengangguk mengerti setelah mengetahui akar permasalahannya. Untuk kali ini ia setuju dengan kemarahan dan protes dari Casvian.
Berani mengusik Riona sama saja dengan berani mengusik dirinya dan anak-anaknya.
Ia kemudian menekan angka nol pada telepon kantor yang berada di atas meja kerjanya. Kemudian menempelkan gagang telepon itu di antara telinga dan mulutnya.
"Halo, Nayla. Kamu ke ruangan saya sekarang," pinta Wylan dengan suara dingin.
Tanpa menunggu jawaban dari Nayla, Wylan langsung memutuskan sambungan telepon dan menyimpan gagang telepon itu kembali ke tempatnya. Ia berjalan menghampiri Riona dan Casvian yang kini duduk di sofa khusus tamu.
"Mas, enggak perlu sampai segitunya. Jangan terbawa emosi kayak Vian," ucap Riona lembut.
Ia tak ingin jika orang-orang kantor akan mengecap Wylan sebagai pemimpin yang semena-mena dengan menyalahgunakan kekuasaannya. Ia tak ingin hanya karena dirinya, Wylan malah mempertaruhkan reputasinya.
"Gak bisa gitu, Ri. Kamu istri aku dan aku enggak bakal bisa terima kalau istri aku ini dijatuhkan harga dirinya oleh orang serendah dia," sanggah Wylan keras kepala.
Riona menghela napas panjang. "Tapi, Mas. Dengan kamu memecat dia, orang-orang akan beranggapan bahwa kamu gak profesional dalam mengelola perusahaan. Kamu memecat pegawai kamu hanya karena masalah pribadi."
Kepala Wylan menggeleng pelan, tangannya mengelus surai rambut Riona yang terawat dan indah itu.
"Aku sama sekali gak menyalah gunakan kekuasaan kok. Dengan dia memperlakukan kamu seperti itu saja, artinya dia sama sekali gak punya etika. Bagaimana kalau yang dia hina tadi bukan kamu, tapi malah klien penting atau tamu perusahaan? Atau, mau dia klien atau bukan pun gak sepantasnya seorang resepsionis dari perusahaan besar berlaku seperti itu pada tamu perusahaan."
Riona tersenyum kecil.
Percakapan mereka terhenti oleh suara ketukan pintu pelan, membuat Wylan segera bangkit dari sofa dan kembali duduk di kursi kerjanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be a Good Mother [Terbit]
RomanceRiona Amara tak pernah menyangka jika ia akan meninggal karena dibunuh oleh keempat putranya sendiri dan mati dalam penyesalan. Namun, di tengah penyesalan itu tiba-tiba saja ia kembali terbangun di masa lalu, tepat lima tahun sebelum kejadian pembu...