37. Undangan

59K 10.4K 684
                                    

Morfeo tak kuasa menahan tangisnya kala ia diberikan piagam penghargaan sebagai juara umum dengan nilai akhir tertinggi satu sekolah. Saking terharunya, Morfeo tak bisa mengatakan sepatah kata pun untuk orasi singkat.

"Sebelumnya terima kasih buat Mama dan Papa, dan buat ketiga saudara saya yang selama ini sudah mendukung saya dan menyemangati saya," ucap Morfeo tersendat-sendat, ia kemudian mengalihkan pandangan pada Riona. "Mama, piala ini untuk Mama. Semua hal yang Feo raih hari ini dan Feo dapatkan hari ini, itu semua karena Mama."

Suara tepuk tangan mengiringi langkah Morfeo yang turun dari panggung, remaja itu berlari kecil menghampiri Riona yang sudah berdiri dengan bangga.

Morfeo langsung memeluk Riona, tetapi tak terlalu erat untuk memberikan ruang pada perut Riona.

"Seperti yang Mama bilang, semua yang Feo dapatkan hari ini karena hasil dari usaha Feo, bukan karena Mama. Feo selama ini sudah berusaha setiap harinya," bisik Riona seraya mengelus punggung Morfeo.

Namun, Morfeo justru menggeleng. "Semua yang Feo dapatkan hari ini itu berkat Mama. Walaupun dulu sikap Mama keras ke Feo, tapi sikap keras itu juga yang berhasil membentuk diri Feo buat jadi sosok yang mandiri dan mau berusaha."

Morfeo ingat jelas, bagaimana didikan sang ibu yang sangat keras dan disiplin dahulu. Ia dan ketiga saudaranya tak boleh mendapatkan nilai di bawah 95 dalam mata pelajaran apapun. Berbagai les Riona berikan pada mereka, membuat jadwal yang padat kian memadat setiap harinya.

Ia juga ingat, bagaimana hukuman yang diberikan Riona. Kadang mereka harus mendapatkan hukuman dua kali lipat, pertama mendapat hukuman fisik, kemudian dikunci dalam ruang belajar selama seharian.

Bukan hanya itu, di ruang belajar mereka akan diberikan bank soal dan disuruh mengerjakan lebih dari seratus soal hingga waktu hukuman habis.

Walaupun terlihat dan terdengar sangat buruk, tetapi bagi Morfeo itu sangat berarti untuk pendidikannya.

"Gak, Nak. Semua yang kamu dapatkan hari ini adalah buah dari usaha kamu. Mama justru merasa buruk karena pernah memaksa dan menekan kalian," ucap Riona, membelai rambut putranya.

Telunjuk Morfeo langsung terjulur ke depan bibir Riona dengan wajah tak suka. "No. Yang penting sekarang Mama udah sayang sama kita semua, Mama udah gak kayak dulu lagi. Masa lalu gak perlu lagi diingat-ingat, Ma. Yang penting sekarang kita semua udah bahagia."

"Iya, Ma. Sekarang kan Mama udah berubah, Mama udah sayang sama kita semua. Mama bukan lagi sosok yang kami takuti dulu," celetuk Casvian menimbrung pembicaraan mereka berdua.

Riona membuka tangannya lebar-lebar, membawa keempat putranya itu ke dalam pelukan dan dekapan hangat. Ia menciumi kening mereka satu persatu.

Walaupun kelihatan manja di mata orang lain, tetapi keempat remaja itu sama sekali tak mempermasalahkan pandangan orang lain. Asalkan mereka bisa bersama Riona saja mereka sudah senang. Mereka tak butuh pandangan dunia, mereka hanya butuh ibu mereka.

"Sudah. Morfeo sama Abang Vian di sini aja, ya? Nikmatin acara kelulusan kamu, Feo. Mama sama Papa mau ambil rapor Kiel sama Riel dulu," ucap Riona mengakhiri interaksi mereka.

Morfeo dan Casvian mengangguk bersamaan dengan patuh. Mereka kembali duduk di kursi masing-masing dan menyaksikan acara kelulusan yang masih berlanjut.

Sementara itu, Riona dan Wylan kini berjalan bersama dua anak kembar mereka yang menjadi penunjuk jalan menuju kelas mereka. Walaupun Riona sudah datang sebelumnya, tetap saja yang namanya umur tidak pernah berbohong, ia lupa-lupa ingat dengan arahnya.

"Wyl?"

Suara panggilan itu menghentikan langkah mereka, terutama Riona dan Wylan yang langsung menengok ke samping kanan. Riona sendiri merasa dejavu dengan kejadian ini.

Be a Good Mother [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang