"Mama, ini mangga muda buat Mama. Tadi Kiel sama Riel manjat pohon mangga Pak RT, tapi kita udah izin kok," ucap Zadkiel seraya menaruh seember mangga muda yang berisi kurang lebih empat biji.
Riona tersenyum menatap sang putra.
Ini sudah keempat kalinya mereka bergantian masuk ke dalam kamarnya dan membawa macam-macam makanan maupun camilan.
Pertama, tadi pagi Casvian datang dengan membawa dua potong sandwich kesukaannya. Kemudian beberapa menit setelahnya, Morfeo datang dengan membawa salad buah. Setelah itu Azriel datang dengan krim sup kesukaan Riona.
Kini makanan itu sudah memenuhi lemari laci kamarnya.
Riona hanya menyentuhnya sedikit karena rasa mual yang terus datang menganggu.
"Sayang, udah. Mama gak mau makan apa-apa sekarang, Mama udah kenyang. Udah, ya? Nanti makanannya mubazir loh," ucap Riona. "Sini, duduk samping Mama."
Zadkiel mengangguk, kemudian berjalan menghampiri Riona. Ia mendudukkan diri di sebelah Riona dan membaringkan kepala di paha Riona.
Kepala Zadkiel berbalik menghadap perut Riona yang masih datar. Ia mengusap perut sang ibu. "Adiknya ada di dalam sini, ya, Ma?" tanya Zadkiel.
Riona mengangguk. Ia mengusap kepala Zadkiel penuh sayang.
"Iya, adiknya lagi tumbuh di dalam perut Mama. Beberapa bulan lagi pasti Mama jadi gemuk terus perutnya buncit," canda Riona disertai kekehan geli.
Zadkiel kembali mengubah posisi menjadi terlentang dan menatap Riona lekat. "Mama dulu pas hamil Kiel sama Riel kayak gini juga?"
"Kayak gini gimana?" tanya Riona bingung.
"Mual-mual, lemas, kerjanya bobo terus," jawab Zadkiel.
Kepala Riona mengangguk mengiyakan pertanyaan Zadkiel semula. "Iya. Pas Mama hamil Abang Vian sama Kiel dan Riel, Mama juga mual-mual kayak gini. Kecuali pas hamil Morfeo."
Kening Zadkiel mengerut. "Pas Abang Feo kenapa? Kok beda?"
Riona memandang hangat pada Zadkiel. Melihat wajah Zadkiel dari dekat seperti ini membuat Riona seperti melihat Azriel, tetapi versi yang lebih pendiam, tak pecicilan seperti Azriel.
"Pas Mama mengandung Abang Feo dulu yang mual-mual bukan Mama, tapi Papa kalian. Kalau kata dokter sih itu normal, kadang ada janin yang punya ikatan lebih kuat dengan ayahnya," jelas Riona.
Ia kembali teringat pada masa-masa kehamilannya saat mengandung Morfeo. Di mana setiap hari rumah pasti akan dihebohkan dengan Wylan. Berbeda dengan kehamilan sebelumnya.
Hal itu membuat Riona sedikit banyaknya menikmati masa mengandung Morfeo, karena ia tak terlalu merasa berat dengan tak melewati momen morning sick.
Zadkiel yang menyimak cerita Riona hanya mengangguk paham, ia lebih memilih menikmati elusan tangan Riona di kepalanya.
"Kiel bakal sayang kan sama adik Kiel kalau nanti dia lahir?" tanya Riona lagi.
"Iya dong! Kiel pasti bakal sayang banget sama dia, Kiel bakal jadi kakak yang baik buat dia. Kiel juga bakal jaga dia dengan baik, gak bakal biarin dia terluka sedikitpun," jawab Zadkiel antusias.
Ia senang.
Ia menerima kehadiran sang calon adik dengan antusias.
"Kiel gak sedih? Kan kalau adiknya lahir nanti Kiel gak jadi anak bungsu lagi," pancing Riona penasaran.
Raut wajah Zadkiel sontak berubah menjadi masam. "Mau sedih gimana, Ma? Sejak awal pun Kiel gak pernah benar-benar jadi anak bungsu, di keluarga ini yang jadi paling bungsu 'kan Riel."
"Semua perhatian berpusat ke Riel. Perhatian Mama, perhatian Papa, dan perhatian Abang-abang yang lain. Karena bagi kalian 'kan yang anak bungsu di sini hanya Riel. Walaupun kita berdua kembar, tapi tetap aja faktanya Kiel kakaknya Riel."
"Nak," ucap Riona.
Bibirnya terasa kelu, tak tahu harus mengatakan kalimat apa untuk membesarkan hati putranya.
Selama ini ia akui bahwa ia memang lebih memanjakan Azriel dibanding yang lain. Bahkan Zadkiel bisa dibilang tak mendapat banyak perhatian.
"Kiel iri sama Riel?" tanya Riona dengan suara yang kecil, bahkan hampir menyerupai bisikan.
"Bisa iya, bisa gak. Kalau mau jujur Kiel emang selalu iri kalau lihat Riel diperlukan dengan manja sama kalian, semua kemauan dia pasti diturutin. Tapi, di lain sisi Kiel coba buat pahamin posisi Riel," ucap Zadkiel.
Ia menarik napas sejenak. "Pasti selama ini Riel juga merasa berat. Dari lahir Riel gak pernah tahu rasanya disayang sama Mama gimana, Riel selalu dipukul sama Mama. Jadi, mungkin Riel butuh banyak kasih sayang dari kalian, apalagi Riel 'kan paling kecil."
Suara Riona seperti tercekat di dalam lehernya, kedua mata Riona berkaca-kaca. Entah karena cerita Zadkiel yang terlalu sedih atau karena hormonnya yang tak seimbang karena hamil.
"Tapi, Kiel juga alamin semua itu, kan? Kiel juga gak pernah rasain gimana disayang sama Mama dari lahir, Kiel juga bahkan sering dipukul sama Mama. Lebih sering dari Azriel lagi," gumam Riona.
Zadkiel tersenyum, jari jempolnya mengusap air mata yang mengalir di wajah Riona.
Kepala Zadkiel menggeleng pelan. "Jangan nangis, Ma. Kiel gak suka kalau liat Mama nangis kayak gini, Kiel gak mau air mata Mama yang berharga jatuh sia-sia. Kiel gak apa-apa kok."
"Kiel kan anak kuat," canda Zadkiel.
Riona langsung merengkuh tubuh Zadkiel, memeluk erat putranya itu. Ia menghujani kepala Zadkiel dengan ciuman-ciuman kecil, bahkan Riona bisa merasakan betapa menenangkannya wangi parfum milik Zadkiel yang khas.
"Iya. Kiel anak kuatnya Mama, Kiel anak hebatnya Mama dan Papa. Kiel hebat, Sayang," bisik Riona.
"Udah, ah. Kok jadi melow kayak gini, nih mending Mama makan mangga atau salad deh. Mau gak? Kiel suapin."
Zadkiel berusaha mengalihkan percakapan mereka, menahan air mata yang siap meluncur dari kedua pelupuk matanya. Ia berusaha kuat di hadapan sang ibu, gak ingin orang tahu bagaimana sisi lemahnya.
"Mama gak lapar, Nak," tolak Riona halus.
"No! Mama harus makan banyak-banyak, biar gembul. Biar calon adiknya Kiel di dalam perut Mama bisa sehat, terus cepat gede," ucap Zadkiel sedikit memaksa.
Ia mengambilkan sepiring buah potong yang tergeletak bersama makanan lainnya di nakas Riona, kemudian mengangkat piring dan garpu ke atas kasur.
"Tapi, Mama mual kalau makan," ucap Riona yang masih berusaha menolak.
Ia tak ingin membuat putranya khawatir dengan kondisinya saat ini.
Zadkiel lalu meletakkan piring tersebut ke atas kasur, kemudian menundukkan kepala menghadap perut Riona. "Dede, gak boleh nakal di dalam sana, ya? Nih, Bang Kiel suapin makan, jangan buat Mama mual oke?"
Senyum Riona tercetak sempurna mendengar ucapan tulus dari Zadkiel. Ia pun akhirnya mengalah dan mau menerima suapan Zadkiel.
Suapan pertama Zadkiel memberikan Riona potongan apel yang sudah dikupas, dengan ragu Riona menerima dan mengunyahnya. Begitu ia menelan, ajaib.
Mual yang biasanya datang jika ia baru menelan makanan kini tak lagi datang. Sepertinya calon buah hatinya ini sangat penurut dengan Zadkiel, alias abangnya.
"Enak, Ma?" tanya Zadkiel. "Mau lagi?"
Kepala Riona mengangguk penuh semangat. "Iya. Kayaknya adik kamu ini maunya dibujuk dulu sama kakaknya deh," canda Riona yang memancing tawa dari mereka berdua.
"Cepat lahir, ya. Nanti Abang ajak main, terus kita keliling-keliling. Pokoknya nanti Abang bakal buat kamu jadi adik paling bahagia di dunia," ucap Zadkiel.
----
To be continued...
Part ini khusus Zadkiel^^ siapa bucinnya Zadkiel nih?
YUK SPAM NEXT DI SINI!
KAMU SEDANG MEMBACA
Be a Good Mother [Terbit]
RomanceRiona Amara tak pernah menyangka jika ia akan meninggal karena dibunuh oleh keempat putranya sendiri dan mati dalam penyesalan. Namun, di tengah penyesalan itu tiba-tiba saja ia kembali terbangun di masa lalu, tepat lima tahun sebelum kejadian pembu...