"Selamat atas anak kelima dan keenam kalian, ya. Ini ada hadiah buat baby twins-nya."
Untuk kesekian kalinya Riona kembali mendapatkan ucapan selamat dan menerima hadiah entah berupa mainan bayi ataupun pakaian bayi. Hari ini rumah Riona dan Wylan tampak ramai dipenuhi dengan para tamu.
Rumah yang tadinya biasa-biasa saja itu disulap seperti ruang acara yang nyaman bagi keluarganya maupun para tamu undangan. Bertepatan dengan dua bulan setelah lahirnya Lyora dan Nalan, Wylan mengadakan acara untuk bayinya itu.
Mereka hanya mengundang beberapa orang-orang dekat saja, seperti rekan-rekan bisnis Wylan yang dekat dan teman-teman seprofesi Riona dulu. Tak lupa juga beberapa teman Casvian, Morfeo, Maureen, Zadkiel dan Azriel.
"Azriel di mana?" tanya Riona saat tak melihat keberadaan putranya itu sejak tadi.
Bukannya apa, akhir-akhir ini Azriel sering sekali merajuk dan marah-marah untuk hal yang kecil. Makanya sedikit banyak Riona merasa bersalah karena tak lagi bisa memperhatikan remaja pria itu secara sepenuhnya seperti dulu.
"Mungkin lagi ngobrol sama temannya kali, Ma. Udah, biarin aja tuh bocah," ucap Maureen yang berdiri sembari menggendong Nalan.
Zadkiel tampak berjalan menghampiri ibunya dengan Lyora yang berada di gendongannya. "Ma, aku mau cari Riel dulu sekalian mau ke teman-temanku. Mama bisa gendong Lyora? Kalau dibawa takutnya dia bangun."
Riona mengangguk seraya tersenyum, ia mengambil Lyora yang berada dalam gendongan Zadkiel dengan pelan-pelan. Anak itu jika sudah bersama Zadkiel kadang tak mau lagi diambil oleh Riona atau yang lainnya.
"Tolong cari Riel, ya," ucap Riona yang dibalas acungan jempol oleh Zadkiel.
Sementara itu, Zadkiel kini menaiki lift menuju lantai tiga. Ia tahu harus kemana jika hendak mencari kembarannya itu, entah insting atau mungkin kebiasaan Azriel.
Setelah pintu lift terbuka, Zadkiel pun berjalan keluar dari kapsul kaca tersebut dan berjalan memasuki perpustakaan pribadi di lantai tiga rumah mereka. Tak terlalu besar dan lengkap, tetapi sekiranya cukup menampung buku-buku yang sering dicari oleh mereka.
Benar saja. Zadkiel langsung menemukan Azriel yang meringkuk di atas sofa yang biasa digunakan ketika membaca. Terdengar suara isakan kecil yang keluar dari bibir Azriel, membuat Zadkiel menghela napas pelan dan mendekati kembarannya.
"Cemburu lagi?" tegur Zadkiel seraya ikut duduk di sofa yang sama.
Tanpa perlu mendongakkan kepala pun Azriel sudah tahu siapa yang menegurnya barusan, ia tetap pada posisi meringkuknya tanpa mau menatap Zadkiel.
"Kenapa sih orang-orang semua fokusnya ke Lyora sama Nalan doang? Semua kasih sayang orang rumah ke mereka semua. Mama gak lagi manjain gue. Papa gak lagi bisa diajak ngobrol dan becanda kayak dulu, sibuk mulu di kamar. Bang Vian juga, selain sibuk kuliah sekarang pasti main sama mereka mulu. Bang Morfeo juga gitu. Kak Maureen juga, bahkan lo juga gitu."
"Semua orang di rumah ini sekarang cuma sayang Lyora sama Nalan, gak ada yang sayang sama gue lagi," tutur Azriel dengan air mata yang tetap mengalir.
"Bahkan kemarin pas gue bilang ke Mama sama Papa kalau gue dapat rekomendasi beasiswa, mereka reaksinya biasa aja tuh. Gak seheboh dulu kalau misalnya gue menang lomba atau apa."
Zadkiel sengaja memilih diam. Bukan karena tak peduli, tetapi karena membiarkan Azriel untuk menceritakan segala beban yang bercokol dalam hatinya.
"Kalau tau gini gue gak mau punya adik. Malesin banget, caper juga mereka," cibir Azriel.
Azriel kemudian memukul-mukul bantal kursi yang sedari tadi ia peluk, ia menumpahkan segala kekesalannya di bantal tersebut sembari memaki-maki tak jelas.
Grep!
Tanpa mengatakan apapun, Zadkiel langsung menarik tubuh saudaranya dan memeluk Azriel. Ia mengusap kepala Azriel kaku, mengingat-ingat apa yang dilakukan Mamanya jika sedang membujuk dan menangkan Azriel.
Azriel sendiri yang dipeluk tiba-tiba terkejut dibuatnya. Apalagi bisa dibilang ini adalah interaksi terdekat mereka sejak mereka menginjak remaja.
"Lo tuh gimana sih, masa cemburu sama bocah baru lahir. Rangking doang tinggi, tapi ternyata goblok juga," ucap Zadkiel sarkas dan tepat sasaran.
Sontak saja Azriel cemberut mendengarnya. "Lo mau ngebujuk atau mau ngatain sih sebenarnya? Nyebelin amat jadi kembaran! Harusnya lo support gue dong, secara kita ini kembar!"
"Wajar kalau semua orang perhatian ke Lyora sama Nalan, mereka baru lahir. Sementara lo? Lo udah hampir tujuh belas tahun, artinya lo juga udah disayang dan dimanjain selama hampir tujuh belas tahun, ngerti?" nasihat Zadkiel.
Walaupun terkesan kasar, tetapi beginilah cara Zadkiel berinteraksi dengan Azriel. Ia tak terbiasa melakukannya seperti saudara lain yang akan bersikap lembut atau mengungkapkan kata-kata sayang.
"Tapi, kan ... gue rasain disayang sama Mama baru beberapa tahun ini kali, Bang. Dari dulu kan Mama gak pernah sayang sama kita, eh pas udah disayang tiba-tiba samua perhatian diambil sama mereka berdua."
Azriel meneguk ludahnya sebentar.
"Gak adil, kan? Mereka disayang dari lahir, sementara kita harus nunggu bertahun-tahun dulu baru disayang. Kita harus dipukul dulu baru bisa rasain disayang. Kita harus rasain dikurung dulu, dimaki-maki, dipaksa belajar baru bisa disayang. Sementara mereka? Sejak lahir pun mereka dapat semua perhatian di keluarga ini," ucap Azriel lirih.
Zadkiel terdiam cukup lama, merenungi segala ucapan Azriel yang sebenarnya ada benarnya juga jika dipikirkan lagi. Namun, segera ia menggeleng untuk mengenyahkan pikiran buruk itu.
"Jangan gitu. Dari kecil 'kan lo juga disayang sama Papa, disayang sama Bang Vian, sama Bang Feo," ucap Zadkiel.
"Tapi, kan ... "
Lagi-lagi Zadkiel menghela napas panjang. "Terus sekarang lo mau bagaimana? Lo mau kalau mereka berdua juga dipukul sama Mama? Dimarahin sama Mama? Dimaki-maki sama Mama? Lo mau mereka juga rasain apa yang selama ini lo rasain, gitu? Biar adil, kan?"
Mendadak Azriel menundukkan kepalanya dengan perasaan campur aduk. Tidak, bukan yang seperti itu yang ia inginkan.
"Kalau emang lo mau seperti itu nanti pas mereka udah besar, gue yang bakal lakuin semua itu ke mereka sendiri. Dengan tangan dan mulut gue sendiri," ucap Zadkiel dengan tatapan serius.
"Sesayang-sayangnya gue sama Lyora, gue lebih sayang sama kembaran gue sendiri, orang yang tumbuh bersama gue dan berbagi makanan sama gue saat di kandungan."
Azriel menatap tak percaya pada apa yang dikatakan oleh Zadkiel barusan, ia tak tahu jika sebesar itu rasa sayang Zadkiel pada dirinya. Apalagi selama ini Zadkiel kelihatan sangat menyayangi Lyora.
"Gue gak mau kayak gitu. Gue ... gue cuma merasa semuanya gak adil buat gue. Gue cuma gak suka semua perhatian yang tadinya berfokus ke gue sekarang fokusnya ke Lyora dan Nalan semua," tutur Azriel dengan mata berkaca-kaca.
"Gak ada yang berubah Azriel. Hanya aja lo cuma perlu berbagi sedikit kasih sayang ke Lyora dan Nalan. Mereka baru lahir, masih lucu-lucunya, otomatis semua orang bakal lebih sering perhatian ke mereka. Nanti juga kalau udah besar palingan pada bosan kok, tenang aja," ucap Zadkiel berusaha memberikan pemahaman.
Ia menepuk pelan pundak Azriel. "Lo cuma kalah lucu doang dari mereka."
"Udah, jangan gini lagi. Kalau lo bersikap kayak gini dan Mama liat, nanti yang ada Mama jadi sedih. Mau lo masuk neraka jalur VVIP gara-gara bikin Mama nangis?" ancam Zadkiel yang langsung membuat Azriel bergidik ngeri.
----
To be continued...
Siapa yang pernah penasaran kalau Azriel dan Zadkiel interaksi yang benar-benar bicara dari hati ke hati tuh gimana? Nah part ini aku sengaja buat untuk nunjukin sisi Zadkiel sebagai sosok kembaran Azriel dan interaksi mereka.
YUK SPAM NEXT!
KAMU SEDANG MEMBACA
Be a Good Mother [Terbit]
RomanceRiona Amara tak pernah menyangka jika ia akan meninggal karena dibunuh oleh keempat putranya sendiri dan mati dalam penyesalan. Namun, di tengah penyesalan itu tiba-tiba saja ia kembali terbangun di masa lalu, tepat lima tahun sebelum kejadian pembu...