Suara ketukan pintu kamar di tengah malam itu terpaksa membangunkan Riona dan Wylan dari tidur mereka. Keduanya mengubah posisi menjadi duduk dan saling menatap bingung.
"Aku buka dulu, ya," ucap Wylan dengan mata setengah terpejam dan sesekali menguap.
Ia menyingkirkan selimut dari atas tubuhnya dan berjalan menuju pintu kamar. "Sebentar," ucapnya seraya membuka pintu.
Begitu pintu kamarnya terbuka, tampak Bi Inem selaku asisten rumah tangga yang baru Wylan pekerjakan penuh di rumah itu beberapa hari lalu kini tengah berdiri dengan kepala menunduk. Kening Wylan pun mengerut dibuatnya, tumben.
"Ada apa, Bi? Kok malam-malam ketuk pintu kamar?" tanya Wylan dengan suara serak.
"Maaf, Tuan. Saya gak bermaksud untuk menganggu istirahat Tuan dan Nyonya, tapi di bawah ada yang datang, nangis sambil hujan-hujanan. Katanya namanya kalau gak salah hm ... Maureen!" ucap Bi Inem.
Sontak Riona yang ikut mendengar ucapan Bi Inem pun mengernyit bingung. Maureen? Ada apa gadis itu datang malam-malam seperti ini, sangat tidak wajar.
"Maureen?" ulang Wylan yang mendapat anggukan dari Bi Inem. "Sekarang dia ada di mana, Bi?"
"Tadi Bibi udah suruh masuk nunggu di ruang tamu, sekalian udah Bibi buatin teh hangat dan kasih handuk kering juga. Kasian badannya basah semua, Tuan," jelas Bi Inem dengan wajah khawatir.
Wylan mengangguk kecil seraya menatap wajah wanita berusia kepala lima di hadapannya itu. "Yaudah. Terima kasih, ya, Bi. Kita berdua bakal turun, Bibi langsung kembali istirahat aja. Biar nanti saya sama Riona yang urus Maureen."
"Yaudah kalau begitu saya permisi dulu, ya, Tuan, Nyonya. Sekali lagi saya minta maaf udah ganggu istirahat Tuan dan Nyonya," pamit Bi Inem.
Sepeninggalan Bi Inem, Wylan pun kembali menghampiri Riona dan membantu wanita itu untuk berdiri dan memakai sandal rumahnya. Mereka berdua ikut menyusul turun menggunakan lift yang sudah rampung sejak tiga hari yang lalu.
Semenjak usia kehamilan Riona yang menginjak bulan ke delapan, Wylan mulai memperkerjakan Bi Inem sebagai ART tetap di rumahnya. Artinya wanita baya itu menginap di rumah mereka, tidak lagi datang pada pagi hati dan pulang di sore harinya.
Namun, esok harinya tetap akan ada sepuluh orang lainnya yang datang untuk membersihkan rumah.
"Hati-hati, Sayang," tegur Wylan saat Riona berjalan dengan tergesa-gesa.
Mereka menghampiri Maureen yang terduduk dengan kepala menunduk di ruang tamu. Penampilan gadis itu sama sekali tak bisa dikatakan baik-baik saja sekarang.
"Maureen?" panggil Riona lembut. Ia berjalan mendekati Maureen dan mendudukkan diri di sebelah gadis itu.
Sontak Maureen mendongakkan kepalanya dan menatap Riona dengan kedua mata berkaca-kaca. Maureen langsung memeluk Riona dengan erat dan menumpahkan tangisnya dalam pelukan wanita itu.
Sementara Riona yang mengerti dengan keadaan Maureen hanya diam dan mengelus punggung keponakannya. "Nangis aja, Sayang. Gak apa-apa, Maureen nangis aja sampai kamu puas dulu. Nanti kalau udah selesai nangis, udah lega, baru cerita."
Ruangan itu dilanda keheningan, hanya ada suara isakan tangis Maureen yang menemani mereka bertiga. Hingga, tangis Maureen benar-benar berhenti dan Riona bisa merasakan punggung gadis itu tak lagi bergetar.
Perlahan Maureen mulai melepaskan pelukan Riona dengan mata bengkak dan memerah. Bekas-bekas air mata bahkan masih tersisa di wajah cantiknya.
"Ada apa, Maureen? Kenapa malam-malam kamu ke sini? Nerobos hujan pula," tanya Wylan yang akhirnya angkat bicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be a Good Mother [Terbit]
RomanceRiona Amara tak pernah menyangka jika ia akan meninggal karena dibunuh oleh keempat putranya sendiri dan mati dalam penyesalan. Namun, di tengah penyesalan itu tiba-tiba saja ia kembali terbangun di masa lalu, tepat lima tahun sebelum kejadian pembu...