Sembilan

7.7K 760 84
                                    


"Barang-barang lo." Yudha menyerahkan buku beserta alat tulis dan tas milik Laura yang tadi siang dirobek oleh Delon.

Laura meremas pinggiran bangku kayu dengan dada yang bergemuruh tidak beraturan, perasaan campur aduk antara sedih dan senang berpadu menjadi satu. Laura sedih tatkala mendapati tasnya yang dirobek Delon dengan tak berperasaan, tas itu memiliki kenangan tersendiri untuknya terbukti dari tanda tangan yang terukir epik di sana, dan Laura amat sangat senang karena ini pertama kalinya setelah sekian lama Yudha mengajaknya bertemu. Duduk bersama seperti ini sudah membuat Laura bersyukur meski tau Yudha sudah tidak seramah dulu.

"Delon marah."

"I know." Laura mengangguk dengan mata memandang lampu taman yang kerlab-kerlib dengan berbagai warna berbeda memberi kesan cantik sewaktu menjelang gelap seperti sekarang. "Dia benci banget sama gue, bukan cuma dia sih satu sekolah kayaknya. Tapi gue nggak peduli." Laura tertawa hambar.

"Foto itu_"

"Yang dalam kotak biru itu? Foto Anatasya?" Laura memotong ucapan Yudha. "Coba tanya ke orangnya langsung."

Malam itu cukup memberi efek dingin karena angin berhembus kencang membawa setiap helaian rambut Laura dan Yudha bergerak bebas ke sana-kemari. Ayunan rantai terletak di depan sana bergoyang akibat angin membuat decitan bunyi yang mengundang atensi kedua manusia itu untuk memandang ke arah yang sama, jika saja keduanya penakut mungkin sudah pasti mengira ayunan itu digerakkan oleh makhluk astral.

Sudah hampir satu menit keheningan melingkupi mereka berdua, Laura menutup rapat-rapat bibir pucat yang tidak dilapisi lip gloss seperti biasa. Begitupun Yudha lelaki itu terlalu hanyut dengan pikirannya sendiri sampai mengabaikan Laura disebelahnya.

Jika dihitung sudah sangat lama keduanya tidak berjumpa wajar saja rasa canggung begitu terasa, tetapi Laura bukan tipekal orang yang betah hening lama-lama seperti ini. Banyak berbagai pertanyaan dan pernyataan yang memenuhi kepala, tapi Laura enggan untuk menuturkannya.

"Lo pindah sekolah lagi aja."

Laura menatap Yudha tidak percaya. "Segampang itu? Lo kira mudah beradaptasi di lingkungan baru."

"Emangnya lo bisa beradaptasi di sekolah yang sekarang?" Yudha balik bertanya. "Lagipula lo udah terbiasa 'kan pindah-pindah."

Laura mengusap wajahnya kasar, ucapan Yudha barusan membuat hatinya berdesir nyeri. "Tapi pindah itu bukan keinginan gue."

"Terserah."

Laura bersandar lelah pada sandaran kursi, menumpukan tubuhnya sepenuhnya.

"Kalau gitu jangan cari masalah lagi dengan Delon, gue males kalau sampai suatu saat terlibat masalah kalian berdua," ujar Yudha.

"Secara nggak langsung dia ikut campur dengan masalah gue di sekolah yang lama, dia bersikap menjadi orang yang pantas untuk menghakimi gue."

"Lo bullying sampai ada yang meninggal, lo juga menyakiti Anatasya, lo tau Anatasya sahabatnya Delon 'kan?" Yudha memandang Laura serius.

Sudut mata Laura berkedut, bibirnya sedikit mengerucut, dan wajah itu berubah semakin murung. Laura ingin sekali menjelaskan pada Yudha dengan suara nyaring dan meminta pembelaan dari lelaki itu atas segala cibiran yang diterimanya dari orang-orang, Laura berharap Yudha dapat mengerti bagaimana kondisinya. Tapi, Laura sadar ia tidak bisa melakukan itu.

"Gue mau pulang udah malem." Laura menelan ludah susah payah sembari berdiri dan memeluk barang-barangnya yang diberi Yudha tadi.

Laura menoleh pada Yudha dan tersenyum tipis. "Makasih ya Kak udah mau ngikutin permainan gue kemarin, gue kira pas bilang putus itu lo akan marah tapi ternyata lo malah nanggepin gue."

Don't Love MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang