Tiga Puluh

6.7K 631 38
                                    

"Vin menurut lo, gue dulu orangnya gimana?"

"Asyik," jawab Alvin tanpa mengalihkan pandangan dari buku berwarna kuning di genggamannya. Si penggemar membaca komik seperti Alvin, akan lupa dengan sekitar jika sudah memegang buku komik favoritnya.

"Bukan itu maksud gue."

"Hm," gumaman samar itu membuat seorang gadis yang berada di sebelah Alvin menggeram tidak suka.

Dengan kesal Laura merampas buku komik Alvin dan menyembunyikannya di belakang tubuh. Laura mengerucutkan bibirnya maju beberapa centi sambil membalas tatapan Alvin.

"Balikin." Alvin melotot.

"Gue dateng ke sini bukan mau dicuekin tau."

Alvin menghela nafas, ia bersandar pada sofa yang menjadi tempat duduknya kini. Lelaki itu sebenarnya tidak rela ketika Laura mengganggu ketenangan dalam membaca, tetapi Alvin merasa tidak tega mencueki Laura yang sudah main ke rumahnya, mengingat akhir-akhir ini mereka jarang bertemu.

"Yaudah deh gue minta maaf." Alvin akhirnya mengalah.

"Vin, kenapa lo mau jadi sahabat gue?" tanya Laura.

"Basi ah pertanyaannya, kita sahabatan udah dari SMP kenapa baru tanya sekarang?" Alvin melirik Laura sekilas.

"Lo nyebelin banget sih."

Laura mengangkat kaki dan duduk bersila di sofa, ia menunduk memainkan jemarinya yang saling bertautan. Helaan nafas lelah begitu jelas terdengar, saat ini Laura benar-benar tidak bersemangat.

"Galau lo?" tanya Alvin.

Laura menggeleng, ia menaruh buku komik yang diambilnya secara paksa ke pangkuan Alvin.

"Terus kenapa?" Alvin memandangi Laura intens.

Laura mendongak, ia menatap iris Alvin dalam. "Kita nikah aja yuk."

Pletak!

Alvin menjitak kening Laura kuat. "Setres nih bocah."

"Gue serius." Tidak ada senyum atau tawa yang Laura tunjukan, raut wajahnya menunjukkan kesungguhan tanpa main-main.

Alvin menaruh komiknya di atas meja dan beralih memutar tubuhnya menghadap Laura. Hanya sekali lihat Alvin tau jika mata itu sedang memancarkan kesedihan. Alvin terdiam, ia tidak tau harus memberi respon apa.

"Cuma lo yang bisa ngertiin gue," kata Laura, gadis itu menelan ludah kasar, memaksa agar kata yang keluar melalui tenggorokannya bisa lancar. "Gue takut kalau suatu hari nanti dapat suami seperti Papa yang suka main tangan, gue takut kalau dapat suami yang wataknya kayak Kak Yudha yang nggak bisa menerima kesalahan gue, gue takut dapat pendamping yang kasar nantinya."

Alvin mengusap lututnya dengan pola abstrak, ada sesuatu yang berat menimpa hatinya ketika mendengar Laura mengucapkan itu.

Tapi lo masih muda.

Lo bisa mencari pasangan yang baik.

Nggak semua laki-laki sama seperti yang lo pikirin.

Nyatanya kata-kata itu hanya tertahan di hati tanpa mampu Alvin ucapkan lewat bibir. Alvin melihat Laura dengan seksama, sebelum akhirnya ia menarik gadis itu untuk masuk ke dalam pelukannya.

"Cerita sama gue, lo ada masalah apa?" tanya Alvin mengusap punggung Laura lembut seolah tau jika gadis yang merangkap menjadi sahabatnya itu sedang tidak baik saja. "Lo nggak sendiri Lau."

"Anak SMA Bhakti masih mengejar gue, gue takut Vin." Laura menyembunyikan wajahnya di dada bidang Alvin. "Gue merasa hidup gue nggak aman, baik di luar, sekolah, maupun rumah. Nggak ada tujuan gue pulang selain lo, gue takut nantinya lo akan pergi."

Don't Love MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang