Tiga Puluh Sembilan

5.9K 638 110
                                    

"Zizi." Rangga tertawa melihat penampilan Zizi dari atas sampai bawah. "Cantik juga lo."

"Nggak usah basa-basi, tujuan lo ngajak gue ketemu di sini kenapa?" Zizi melipat tangan di dada, malas menanggapi Rangga.

Rangga mengeluarkan buku diary bersampul putih dengan sketsa kupu-kupu, ia semakin tertawa melihat wajah terkejut Zizi.

"Darimana lo dapat buku itu?" tanya Zizi, pantas saja buku itu ia cari kemana-mana tidak ketemu. "Balikin."

"Satu syarat." Rangga maju mendekati Zizi. "Tergantung jawaban lo, kalau memuaskan maka gue akan balikin nih buku kepada Lo."

Zizi kesal bukan main terhadap Rangga, gadis berkuncir dua itu membalas menatap Rangga dengan tatapan menantang. Tangannya terangkat menunjuk wajah Rangga.

"Apa yang lo lakukan terhadap Laura? Gue yakin kemarin yang menyuruh Laura untuk mencelakakan gue itu lo 'kan?"

Rangga mengendikkan bahu, ia pura-pura tidak mengerti maksud Zizi. Rangga memegang sebelah bahu Zizi. "Lo mau buku ini gue bakar?" Rangga menaikkan sebelah alisnya.

Tangan Zizi terkepal kuat, "mau lo apa?"

"Ikuti semua kemauan gue, lalu buku ini kembali di tangan lo."

"Apa?"

"Ada yang akan datang ke sini, tugas lo cukup simpel. Lo alihkan perhatian orang-orang agar tidak mengganggu urusan gue."

Zizi terdiam, ia tidak mengerti maksud Rangga.

"Ingat, buku ini akan gue bakar."

***

Derap langkah kaki berpadu dengan dorongan brankar mengundang atensi orang-orang yang berada di koridor Rumah Sakit. Penampakan seorang yang terbaring lemah menjadi acuan panik tersendiri dari keempat lelaki yang mengantarnya. Seragam putih kini berganti dengan noda merah bau darah, luka-luka di sekujur tubuh, hingga denyutan napas yang berdenyut lambat membuat rasa takut yang berlebih.

"Del," panggil Yasir, matanya berkaca-kaca melihat Delon yang tidak sadarkan diri seperti itu.

"Lo masih ingat ucapan gue kemarin 'kan?" tanya Yasir pelan.

"Adik-adik dilarang masuk." Seorang suster menutup pintu ruang UGD. Membuat Yasir, Yudha, Abit, dan Hizkia memandang ruangan tertutup itu sedih.

Lo nggak sendiri Del, kami semua menunggu lo bangun, batin Yasir.

Abit mengusap rambutnya kasar, ia memejamkan mata seraya bersandar di tembok. Marah, itulah yang terpancar dari mata Abit, luapan emosi memang sedari tadi ia tahan tetapi raut wajahnya tidak bisa berbohong.

Begitupun Yudha, tidak ada yang Yudha lakukan selain duduk di bangku tunggu Rumah Sakit, matanya memandang nanar lantai keramik berwarna putih, jauh di dalam lubuk hatinya berdoa agar tidak terjadi sesuatu yang tak diinginkan kepada Delon. Meski hubungannya dengan Delon sedang tidak baik, namun Delon tetaplah temannya.

"Apa yang terjadi?" tanya Yasir.

Sedangkan gadis yang ditanya tidak menampilkan ekspresi apapun selain datar. Berbeda dari yang lain, Laura lebih bersikap biasa ketimbang panik berlebih karena Delon yang masih ditangani dokter.

Laura menegapkan tubuhnya tidak lagi bersandar pada tembok. Maniknya membalas tatapan Yasir.

"Jawab gue Laura!" seru Yasir sedikit membentak.

Masih sama, tidak ada kata yang terucap dari bibir Laura untuk menjawab pertanyaan Yasir. Sekarang memang Yasir lebih menakutkan dari biasanya, tetapi tetap saja Laura tidak peduli.

Don't Love MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang