Sepuluh

8.1K 750 62
                                    

Laura memandang hampa pada dompet hitam yang terbuka menampilkan beberapa kartu dan tiga lembar uang dua ribuan. Setelah keluar dari ruang BK, uang simpanannya langsung ludes karena harus mengganti rugi kaca jendela yang kemarin ia pecahkan.

"Sisa enam ribu," desah Laura.

Meski begitu Laura tidak memberitahu hal ini kepada kedua orang tuanya, Laura lebih baik menggunakan uangnya sendiri daripada Mama dan Papanya tau kelakuannya di sekolah.

Tangan Laura meraba perut yang berbunyi tanpa bisa dikompromi, tetapi tetap saja hasrat laparnya itu harus Laura tahan, tidak mungkin Laura akan menghabiskan sisa uang di dompetnya.

Laura melangkah gontai menuju kelas, mungkin hari ini ia tidak akan jajan dulu.

"Tunggu."

Laura menoleh pada seorang yang baru saja ia lewati. Di sana terdapat seorang gadis yang beberapa hari lalu bertengkar dengannya di kantin. Kakak kelas yang Laura kotori bajunya dengan jus alpukat karena kakinya tersandung.

Kenaya menghampiri Laura, dari dekat Laura bisa mencium wangi vanila dari Kakak kelas itu, wajahnya juga begitu putih dan bersih tanpa adanya jerawat.

"Apa?" tanya Laura.

"Jangan lewat sana," ucap Kenaya menunjuk koridor kelas dua belas. "Mereka mau ngerjain lo."

Mata Laura melirik segerombolan murid perempuan yang berkumpul seraya berbisik-bisik. Bolehkah Laura kesal? Padahal Laura sama sekali tidak mengusik mereka.

"Lo mau tau nggak cara agar nggak dibully lagi?"

Laura menatap Kenaya curiga, seingatnya hubungannya dengan Kenaya tidaklah baik lalu untuk apa Kenaya mau membantunya?

"Keuntungan lo apa?"

"Maksud lo?"

"Nggak mungkin lo tiba-tiba baik kayak gini." Laura melipat tangan di dada.

"Yaudah kalau nggak mau." Kenaya tidak ambil pusing, mendengar respon Laura yang seperti itu, ia langsung pergi begitu saja dari hadapan Laura.

Laura mengendikkan bahu acuh dan berbalik arah mencari jalan lain untuk ke kelas. Kaki Laura menapak keluar dari koridor kelas menuju arah halaman belakang sekolah, meski jauh tapi setidaknya ini lebih baik daripada ia harus diusili Kakak kelas yang suka mencampuri urusan orang lain.

"Ternyata sama aja sekolah ini nggak ada bedanya dengan sekolah gue dulu," gumam Laura.

Banyak tanaman yang tumbuh di halaman belakang sekolah membuat mata Laura fresh melihat berbagai macam bunga warna-warni yang sedang bermekaran. Hawa di sana begitu menyejukkan, namun sayang tidak tersedia bangku untuk sekedar duduk beristirahat dan menikmati bunga-bunga di sana.

Pohon rindang tetapi tidak berbuah menjadi pilihan Laura, ia duduk di atas rumput dengan mengandalkan pohon sebagai tempat bersandar dan meneduh dari terik matahari, melupakan tujuan awalnya untuk ke kelas. Lagipula Thamara dan Vika pasti sedang berada di kantin mengingat kini sedang istirahat. Lebih baik ia menikmati kesendirian di sana daripada harus mendapat tatapan tidak mengenakan dari murid di sekolahnya.

Merasa bosan Laura mengeluarkan ponsel dari dalam saku, benda pipih yang dapat menjangkau ke luar kota bahkan luar negeri sekalipun karena jaringan yang super canggih dan modern. Ada besitan rasa sedih ketika Laura melihat nomor yang tertera di ponselnya, mau secanggih apapun ponselnya tetap saja Laura tidak bisa menghubungi nomor itu.

Jemari Laura mengusap layar dari menu kontak menuju galeri, "Alvin," ucap Laura mengembungkan pipi ketika layar ponsel itu menampilkan foto dirinya dan Alfin yang sedang berfose menggunakan seragam SMA Bhakti.

Don't Love MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang