"Barangkali mungkin kamu yang terlalu perasa di tengah-tengah orang tanpa hati. Maka nanti tidak perlu terkejut, sekeras apapun kamu berteriak dan merintih kesakitan, mereka juga tidak akan perduli. Karena katanya orang boleh egois untuk kebahagiaan diri sendiri."
. . . . .Renja mematut dirinya didepan cermin dengan wajah lesu. Jujur ia kebingungan harus diapakan wajahnya supaya terlihat enak dipandang dihari bahagia Papahnya ini. Sayang sekali padahal ia sungguh kagum dengan gaun sederhana pemberian Papahnya yang membalut tubuhnya. Rambut yang di tata sedemikian rupa, tapi wajahnya sedikitpun tidak bisa untuk ia ajak kerja sama. Renja mendesah pelan, ia kesal dengan dirinya sendiri.
Matanya lalu beralih menatap jam di dinding kamarnya. Baru jam 7 pagi, masih ada waktu dua jam hingga prosesi ijab kabul di kediaman mempelai wanita. Lalu nanti malam harinya akan dilanjutkan dengan pesta di salah satu hotel yang sudah Papahnya sewa.
Sura pintu yang dibuka kemudian menarik atensi Renja. Ditatapnya Sang Papah yang kembali menutup pintu lalu berjalan kearahnya. Renja tersenyum. Walau samar Wira masih bisa menangkap seulas senyuman Renja yang sanggup menenangkan hatinya yang semula kembali dilanda gundah. Renja kemudian bangkit berdiri untuk berjalan menyambut Papahnya.
Keduanya kini berdiri berhadapan. Meski sama-sama bungkam, keduanya paham bahwa saat ini mereka hanya butuh untuk meyakinkan satu sama lain. Renja meraih kerah baju Papahnya untuk ia rapihkan. Meski sebenarnya sudah rapih tapi Renja rasa ia perlu untuk melakukan itu. Di usapnya lengan jas Sang Papah untuk ia bersihkan dari debu yang bahkan wujudnya saja tidak ia lihat. Wira hanya diam menikmati segala perhatian yang diberikan oleh si kesayangan.
Belum berhenti lalu tangan Renja beralih untuk menyentuh rambut Sang Papah pelan. Takut jika rambut yang sudah di tata sedemikian rupa rusak karenanya.
"Papahnya Renja ganteng banget emang." Ucap Renja memecah kesunyian diantara keduanya.
Mendengarnya Wira tidak bisa untuk tidak tersenyum. "Anaknya Papah Wira juga cantik banget emang." Wira malah memuji balik, membuat senyuman Renja yang tadi masih samar melebar tanpa bisa ia cegah.
"Udah hafal kan nanti buat ijab kabulnya?" Tanya Renja.
Wira mengangguk mantap. Renja kembali tersenyum. "Semoga nanti lancar yah Pah. Ren bantu do'a." Ujarnya.
"Aamiin. Terimakasih sayang." Balas Wira.
Kedua mata mereka masih saling bertemu tatap namun keduanya memilih bungakam. Sedangkan sekuat tenaga Renja menahan diri untuk tidak menangis. Berat baginya untuk bersikap biasa saja. Sedari semalam hatinya bahkan terus diliputi oleh rasa sesak yang membuat tenggorokannya merasa begitu tercekik. Di dalam hati sana rasanya Perih sekali.
Renja menelan ludahnya untuk membahasi tenggorokannya yang terasa kering. Ada satu hal yang sangat ingin ia lakukan sebelum Sang Papah memiliki yang lain. Menguatkan hati dan tekadnya bahwa ia tidak apa-apa dengan ini semua. Menguatkan diri untuk tidak menangis melihat Papahnya yang terus saja bungkam, Renja kemudian merentangkan tangannya lebar. "Boleh minta peluk?" Ujar Renja yang seketika langsung ditarik Wira untuk masuk kedalam dekapannya.
"Kalo mau peluk, peluk aja. Gak usah izin dulu. Hari ini Papah cuma akan menikah. Bukan mau pergi ninggalin kamu."
Renja tidak kembali mananggapi. Hanya saja ia kian menguatkan pelukannya. Diresapinya bau Sang Papah yang mungkin nanti kedepannya ia akan kesulitan untuk mendapatkan moment seperti ini. Ditengah moment itu, Renja terus merutuki dirinya. Kesal karena dulu tidak pernah sedikitpun otak kecilnya berfikir ke arah sini. Mungkin jika ia sedikit saja untuk peka terhadap apa saja yang kiranya akan terjadi di depan, ia tidak akan seterkejut ini dalam menerima semunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eshal Renjana (Lengkap)✔
Fanfiction"Gala.." lirih gadis itu yang kini menatap nanar ke arah laki-laki disampingnya. "Kenapa hem?" Tanya nya kemudian, satu tangannya terangkat mengusak rambut hitam itu yang dibiarkan tergerai. Cantik, sangat cantik. "Papah.." Gadis tersebut berhenti s...