Kangen aku nggak? Kalau aku kangen banget sama kalian hehe
.
.
."Dewasa adalah ketika kamu harus marah tetapi kamu lebih memilih untuk memahami."
. . . . .Yunita keluar dari dalam mobil dan menutup pintu tersebut keras. Kepalanya sedikitpun tidak ia tolehkan meski suara Haira yang terus memanggil namanya jelas terdengar di indera pendengarannya.
Wanita tersebut kecewa berat hingga rasanya hanya dengan menatap wajah sang putri sanggup membuat amarahnya semakin meluap tak terbendung.
"Mamah, tolong jangan kayak gini." Haira tidak menyerah. Tentu saja mereka perlu berbicara. Hanya memang mungkin kali ini kesalahannya begitu fatal. Ia sudah menyia-nyiakan kesempatan yang tidak mungkin datang dua kali dalam hidupnya.
"Aku tahu aku salah. Aku minta maaf." Haira masih terus membujuk Yunita yang terus melangkahkan kakinya.
Yunita abai dan itu sungguh membuat Haira kesal setengah mati. Belum cukup kesakitan dan kekecewaannya karena kegagalannya hari ini, tidak kah Mamahnya sedikit saja mau mengerti posisi dirinya?
"Mamah!" Haira pada akhirnya berhasil meraih tangan Mamahnya.
Plakkk
Namun yang gadis itu dapatkan justru sebuah tamparan keras.
Haira bungkam dan kembali menelan kalimat-kalimat yang hendak ia lontarkan untuk mamahnya.
Jantungnya berdegup begitu kencang, satu tangannya terangkat menangkup sebelah pipinya yang berdenyut tapi tidak lebih sakit daripada hatinya.
"Yunita! Apa-apan kamu?" Wira yang sedari tadi diam akhirnya menyentak. Laki-laki paruh baya itu tidak habis pikir dengan apa yang baru saja terjadi tepat didepan matanya. Kakinya langsung melangkah mendekat dan berdiri tepat dihadapan Haira, membawa gadis tersebut untuk berlindung dibelakang tubuh tingginya.
Mereka bahkan lupa jika saat ini masih berada dihalaman rumah mereka.
"Apa yang kamu pikirkan? Tidak kah kamu melihat seberapa keras dia berusaha?" Bela Wira. Tangan laki-laki itu mengepal.
Kedua mata mereka beradu dengan nafas Yunita yang terlihat tidak teratur. "Ini urusan saya dengan Haira. Jadi tolong, jangan ikut campur." Ujarnya seraya melirik Haira yang semakin menyembunyikan dirinya dibelakang tubuh Wira.
"Sekarang Haira juga anak saya. Bagaimana bisa saya tidak ikut campur melihat perlakuan kasar kamu terhadapnya."
Mendengarnya Yunita tersenyum sinis. Satu tangannya menyugar rambutnya yang ia biarkan tergerai hari ini. "Saya ibunya dan saya yang paling tau apa yang terbaik buat dia."
"Tapi tidak dengan menghakimi seperti ini. Apa susahnya untuk mengapresiasi pencapaiannya?"
Tegas Yunita menggeleng. "Tidak dengan menjadi yang nomer dua." Pandangan matanya lalu kembali menatap Haira. "Sesuai apa yang mamah katakan. Mulai minggu ini jadwal bimbel kamu Mamah tambah." Putusnya yang sontak mendapatkan raut protes dari wajah Haira.
"Apa Mamah gila? Tidak kah Mamah tahu, rasanya kepala ku nyaris meledak karena terus-terusan menerima materi pelajaran tanpa henti." Balas Haira frustasi. Kedua matanya yang berair menatap Yunita sengit.
"Berhenti mengeluh! Jalani apa yang sudah Mamah tentukan untuk kamu. Demi masa depan kamu. Tidak ada bantahan!"
Lelah. Haira lelah sekali untuk masa depan yang sedang coba ia kejar dengan kecepatan penuh. Ia hanya ingin istirahat, sejenak mengambil jeda untuk bernafas. "Haira bahkan mungkin sudah mati sebelum masa depan yang Mamah maksud itu datang." Balasnya. Kedua matanya yang memerah menatap Yunita kecewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eshal Renjana (Lengkap)✔
Fanfic"Gala.." lirih gadis itu yang kini menatap nanar ke arah laki-laki disampingnya. "Kenapa hem?" Tanya nya kemudian, satu tangannya terangkat mengusak rambut hitam itu yang dibiarkan tergerai. Cantik, sangat cantik. "Papah.." Gadis tersebut berhenti s...