B a b _ s e p u l u h

9.3K 424 4
                                    

"Memangnya tujuan dari positif thinking itu untuk apa selain menghindarkan hati dari luka yang disengaja."
. . . . .

Renja menghela nafas panjang, kedua manik matanya menatap bingung gerbang sekolahannya yang sudah tertutup rapat. Seumur-umur ia sekolah, ini adalah pertama kalinya ia terlambat, bahkan sangat terlambat. Kepalanya ia tengokan kebelakang dan mendapati pak Didi yang berlari menghampirinya seraya menenteng kotak bekal ditangan kanannya. Sangat terlihat jelas wajah tua itu begitu khawatir menatap Neng Renja kesayangannya yang tengah memasang wajah memelas.

Gadis itu, meski ia hanyalah seorang supir yang dengan baiknya Tuhan pertemukan dengan orang sebaik Wira. Tidak ada alasan untuk ia tidak menyayangi Renja seperti anaknya sendiri, bahkan Pak Didi sudah ada dan mengikuti Wira sejak gadis tersebut masih berada dalam kandungan ibunya. Pak Didi bahkan tau dengan pasti hari dimana yang seharusnya menjadi hari bahagia untuk kedua orang tua baru tersebut menjadi sebuah tragedi yang begitu menyayat hati. Pilu sekaligus pelik.

"Neng gak usah khawatir. Biar bapak liat. Ini masukin dulu bekelnya kedalam tas." Ujarnya seraya menyerahkan kotak bekal yang dibawanya.

Tidak menunggu lama, Pak Didi langsung bergegas mendekati gerbang. Tinggi badannya yang tidak seberapa berusaha ia longokan ke atas untuk melihat kedalam namun nihil. Sejauh matanya memandang tidak ia dapati orang sama sekali disana. Dan tidak ada pilihan lain untuk pak Didi selain mengetuk gerbang dengan sedikit keras. Tentu saja agar terdengar.

Duk duk duk....

"Permisi....!" Teriak Pak Didi.

Namun tidak ada yang menyaut pun tanda-tanda orang yang mendekat. Kembali Pak Didi mencobanya.

Duk duk dukk...

"Permisi...!" Lagi, Pak Didi berteriak. Namun tetap sama, tidak ada sahutan. Mulai kesal dan tidak tega melihat Renja yang mulai kepanasan pak Didi kembali mengetuk, ah bukan lebih tepatnya menggebrak gerbang sekolah Renja.

"Per...!" Teriakannya terjeda ketika akhirnya gerbang tersebut dibuka dengan sedikit kasar dan memperlihatkan wajah pak satpam yang memancarkan aura kekesalan yang begitu kentara.

"Bapak mau robohin gerbang ini iya? Jadi orang sabar dikit napa!" Sembur satpam tersebut.

"Bukan salah saya. Saya udah ngetuk secara baik-baik tapi tidak juga ada yang membukakan gerbangnya." Sanggah pak Didi.

"Ya tetep aja nggak usah bar-bar gitu dong." Ucap pak satpam ngegas. "Rusuh banget, saya bahkan nggak bisa nuntasin hajat saya yang sudah di ujung tanduk." Kesalnya. Mendengarnya Renja tertawa samar. Demi Tuhan, Renja dapat memahami kekesalan pak satpamnya itu.

"Ya udah atuh saya minta maaf. Saya kan gak tau kalo bapaknya lagi setor harian."

"Makannya lain kali sabar!" Pandangan satpam itu lalu beralih menatap Renja yang sedari tadi diam melihat perdebatan keduanya.

"Ayo sini mbak masuk. Tumben telat? Padahal tadi bapak liat Mas Gala udah berangkat pagi-pagi." Ujarnya yang sudah sangat familiar dengan Renja.

"Kesiangan pak."  Jawab Renja seadanya. "Yaudah Pak, Ren masuk dulu yah." Pamitnya pada Pak Didi yang dibalas Pak Didi dengan lambaian tangannya.

"Langasung aja kelapangan utama yah. Udah ada Mas Hanaf disana." Ujar satpam tersebut yang.

"Iya Pak." Jawab Renja.

Renja langsung bergegas, membawa langkah kakinya menuju lapangan utama. Dengan jarak yang masih cukup jauh, ia bisa menangkap keberadaan Bang Hanaf dan seorang gadis dengan rambut panjang tergerai dengan warna yang begitu menarik. Renja sampai terpukau dan ingin mencoba warna rambut itu melihat begitu cantiknya gadis tersebut.

Eshal Renjana (Lengkap)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang