"Haruskah keras kepala untuk mempertahankan suatu hal yang dianggap berharga?"
. . . . .Seumur hidup Renja, sekalipun ia tidak pernah mengira jika di masa depan ia akan berada di situasi seperti ini. Mengawali hidup dengan sarapan pagi bersama orang baru yang kini resmi menjadi istri dan anak dari Papahnya.
Renja menelan nasinya dengan susah payah. Hela nafasnya berat. Tenggorokannya bahkan masih tercekat. Entah bagaimana caranya agar ia bisa melalui semuanya tanpa perlu merasakan sakit dihatinya.
Beruntung kehadiran Tantenya membuat ia merasa sedikit tenang. Setidaknya dengan kehadiran Raiyana, Renja tidak perlu merasa takut atau bahkan terintimidasi di rumahnya sendiri. Karena belajar dari pengalaman, di beberapa pertemuan yang melibakan ia dengan Haira selalu berakhir kurang baik. Haira itu....terlalu menyebalkan. Sungguh. Wajah ramah dengan pembawaannya yang ceria sangat berbanding terbalik dengan kelakuannya yang begitu mengesalkan.
Sibuk dengan pikirannya sendiri, Renja dibuat terkesiap ketika Papahnya berdehem. Semua orang di meja makan sudah selesai dengan sarapan mereka. Menyisakan Renja yang bahkan masih menyisakan hampir setengahnya. Tidak ingin mendapatkan teguran dan merusak harinya. Renja segera menyelesaikan makannya dengan lahap meski rasanya disuapan terakhir ia ingin sekali memuntahkannya. Lagi pula Feeling nya mengatakan jika Papahnya itu akan memulai pembicaraan yang cukup serius. Ia yakin akan hal itu.
"Raiyana..."
Yang disebutkan namanya langsung mengalihkan perhatiannya kepada Wira sepenuhnya. Di letakannya gelas minum yang sudah tandas tidak bersisa.
"Ya...." saut Raiyana.
"Mas ingin bertanya, kamu akan tinggal disini atau bagaimana?"
Mendapatkan pertanyaan seperti itu kening Raiyana berkeryit, "Apakah ada masalah hingga Mas Wira bertanya seperti itu? Aku rasa mau tinggal disini ataupun nggak itu bukanlah suatu hal yang dapat Mas pertanyakan." Raiyana menatap Kakaknya tidak mengerti. "Lagipula Aku baru saja sampai tiga hari yang lalu. Tega sekali Mas Wira menanyakan hal seperti itu. Aku tersinggung." Jujur Raiyana dengan santai namun tepat sasaran.
"Mas gak bermaksud apa-apa. Hanya bertanya, Mas rasa itu hal wajar ditanyakan kepada wanita dewasa yang sudah hidup mandiri seperti kamu." Jelas Wira.
Bukannya membaik. Raiyana justru kian dibuat jengkel. Aneh sekali Kakaknya. Raiyana masih waras untuk mengingat bahwa setelah kepergiannya bertahun-tahun lamanya. Ini adalah kepulangan pertamanya ke Indonesia. Apakah Kakaknya itu tidak merindukannya walau hanya sedikit?
"To the point saja Mas." Pintanya tegas. Sungguh, Kakaknya itu terlalu bertele-tele. Raiyana paham, bahwa pembicaraan inti yang ingin dikatakan oleh Kakaknya bukanlah hal itu.
"Kamu tau sendiri kamar disini hanya ada tiga. Dan satu untuk Haira sudah Mas renovasi dan siap untuk digunakan...." Wira berhenti.
"Aku tau itu, maka aku juga sadar diri dengan memutuskan untuk tidur sekamar berdua dengan Renja. Lalu sekarang masalahnya dimana?"
Wira menghela nafasnya sejenak. Tampak berat sekali untuk melanjutkan kalimatnya. Matanya lalu beralih memperhatikan Renja yang sedari tadi diam menyimak.
Mendadak perasaan Renja tidak enak.
"Begini, ternyata kamar yang baru saja di renovasi terlalu kecil untuk Haira gunakan. Ini diluar perkiraan jika barang keperluan Haira untuk sekolahnya tidak muat dimasukan ke dalam kamar tersebut. Apalagi akan ada tambahan beberapa furniture baru," Wira kembali berhenti berucap. "Jadi Papah minta nanti untuk Renja tukeran kamarnya sama Haira yah_" kepala Wira kembali menoleh kepada Raiyana. "Yang otomatis kalau kamu mau ikut sekamar dengan Renja Mas rasa itu kurang luas." Lanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eshal Renjana (Lengkap)✔
Fanfiction"Gala.." lirih gadis itu yang kini menatap nanar ke arah laki-laki disampingnya. "Kenapa hem?" Tanya nya kemudian, satu tangannya terangkat mengusak rambut hitam itu yang dibiarkan tergerai. Cantik, sangat cantik. "Papah.." Gadis tersebut berhenti s...