part 1

850 63 10
                                    

Bismillah

Saranjana I'm In Love

#part: 1

#by: Dewi Jambi

"Selamat pagi, Pak. Saya mendapat kabar mobil yang di pesan minggu kemarin saat ini sudah sampai di Kalimantan, tapi alamatnya tak ditemukan,"

Reagan yang saat itu sedang memeriksa beberapa berkas memicingkan matanya. Seketika menghentikan pekerjaannya dan beranjak dari kursinya.

"Bagaimana bisa tidak ditemukan? bukankah alamatnya jelas? apa mereka tak mengecek dengan teliti?"

"Semua mobil sudah di bayar lunas! temukan segera, saya tidak mau pelanggan kecewa,"

Pengusaha muda itu menyentak tubuhnya di atas sofa dan memijat kepalanya. Hal aneh. Barang yang dibeli bukan barang murah, harganya juga mahal, tak mungkin pelanggannya salah memberi alamat.

Ia memang tak rugi. Dua buah mobil truck sudah di bayar, tapi ia punya tanggung jawab agar barang sampai di tangan pembeli dengan selamat.

Ini sudah kali kedua. Dalam tiga tahun kejadian yang sama kembali terjadi. Mobil Lamborgini kuning yang di pesan kembali ke perusahaannya setelah mereka tak menemukan alamat pembelinya, dan seperti saat ini, sudah di bayar lunas.

"Tapi, Pak ... sedari semalam lima orang karyawan kita sudah bermalam di sana. Tempat yang di cari melalui sharelock itu hanya hutan yang luas dan perbukitan. Tak ada satu pun rumah ataupun tempat singgah di sana. Hanya ada pepohonan yang tinggi menjulang,"

Huffftt!

Kepala Reagan semakin nyut-nyutan. CEO muda pemilik dari Reagan Motor Company itu hanya bisa menghela napas kasar.

Haruskah ia mengambil yang bukan miliknya?

***

"Dodi, ke mana lagi arahnya?"

"Berdasarkan sharelock ga jauh lagi, Mar. Maju terus ada simpang belok kiri," sahut Dodi sambil menunjuk ke arah jalan. Sesekali ia menyeka peluh yang jatuh di antara anak rambutnya.

"Aku lelah banget, Mar. Kita singgah ke warung sebentar yuk. Di sana kayaknya ada warung," ujar Dodi kemudian.

"Heran, ya Dod. Perasaan dari tadi ga nyampe-nyampe. Kamu ga coba nelpon yang beli?"

"Sudah, Mar. Dia cuma bilang dekat lagi, dekat lagi,"

"Keknya dah berjam-jam yang tadi ya. Tapi kok jamnya tetep aja jam delapan,"

"Iya, Mar. Apa perasaan kita aja, ya?"

Dua orang karyawan dari Reagan Motor Company itu hanya saling pandang dan mengedikkan bahu. Detik berikutnya Umar kembali fokus ke jalan dan menepikan alat berat yang ia bawa. Tiga temannya di mobil berbeda pun ikut menepi.

"Sep, kita ngopi dulu," ajak Umar saat melihat Asep dan Tohir keluar dari mobil, berikut juga Jodi di mobil hitam yang terparkir paling belakang di tepi jalan.

"Iya Kang Umar, saya letih banget. Sok kita ngopi dulu," Asep pun menyetujui ajakan Umar. Lima orang lelaki dewasa itu akhirnya menyeberang dan singgah di warung remang-remang. Satu-satunya warung yang ada di sana dan tak nampak satupun rumah disekitar.

Seorang wanita paruh baya berperawakan gendut pendek menyambut mereka dengan kepala yang tertunduk.

"Bu, ada kopi hitam? kalau ada minta lima beserta cemilan, ya Bu,"tanya Jodi saat mendaratkan pantatnya pada kursi papan yang terlihat sudah sangat lapuk, hingga membuatnya harus sangat berhati-hati.

Wanita itu hanya mengangguk tanpa menyahut, tapi ia dengan segera memutar tubuhnya dan meramu kopi pesanan Jodi.

Umar yang sedari masuk merasakan bulu romanya meremang hanya terdiam, sedangkan matanya memperhatikan setiap sudut warung.

Ia sempat tersentak saat melihat lelaki tua sedang duduk di kursi goyang dengan wajah pucat dan menghadap lurus, meski ia melihatnya dari samping, wajah lelaki tua dan keriput itu membuat ia bergidik. Berharap dalam hati jangan sampai lelaki tua itu menatap ke arahnya, tapi tiba-tiba ...

Lelaki tua itu menoleh dan menatapnya tajam. Tanpa ekspresi, ia menarik salah satu sudut bibirnya, tersenyum sinis seolah ingin mengatakan," mat*lah kau!"

Jantung Umar seketika rasanya berhenti berdetak. Spontan ia menundukkan kepalanya. Menyentuh dadanya yang berdegup kencang.

"Mar, kamu kenapa?" Tohir yang melihat Umar tiba-tiba menundukkan kepalanya merasa heran. Sebuah tepukan dilayangkannya, tapi Umar tak bergeming.

Sampai saat pesanan datang. Lima gelas kopi hitam yang masih mengepulkan asap dan juga pisang goreng menggugah selera, yang memang sejak tadi perut mereka minta diisi.

Umar perlahan mulai mengangkat kepalanya. Ia bisa bernapas lega karena lelaki tadi sudah tak ada di tempat. Entah ke mana orang tua itu, Umar tak perduli. Ia akhirnya meraih kopi dan menyomot sebiji pisang goreng.

"Kopinya enak banget, ya. Asli, wangi banget," puji Asep. Dodi dan Jodi mengangguk setuju.

"Masak, sih, Mar? perasanku kopinya bau lumpur," bisik Tohir mendekatkan mulutnya di telinga Umar.

"Ga, kok, emang enak banget kopinya, pisangnya apalagi," timpal Umar.

Namun, Tohir tetep kekeh, satu sesapan saja Tohir sudah mual. Awalnya sebelum membaca bismillah, ia juga menghirup aroma yang sangat enak dari kopi yang di suguhkan, tapi semua berubah saat mengucap asma Allah.

"Bu, numpang tanya, apa Saranjana masih jauh Bu?" Tohir buka suara saat teman-temannya sedang asik menyantap pisang goreng yang tinggal sisa sebiji di piring.

Ibu itu tetap menunduk. Ia hanya menggeleng dan menunjuk ke arah kanan. Tepat seperti petunjuk di gadget Dodi.

"Nah, kan aku sudah bilang, ga jauh lagi," ujar Dodi.

"Pak Tohir ga makan?" ucap Jodi sembari meraih satu pisang terakhir.

Tohir yang memang umurnya paling tua itu menggeleng pelan.

Setelah kenyang, Dodi yang memang di percaya membawa uang untuk konsumsi selama perjalanan beranjak dari duduknya dan melangkah ke arah Ibu yang membelakangi mereka.

"Berapa Ibu?"

Ibu itu bergeming. Dodi menoleh ke arah empat temannya yang juga sudah berdiri dan menunggu Dodi.

"Dua puluh ribu," suara parau dan serak itu membuat bulu kuduk Dodi berdiri seketika.

'Dua puluh ribu? murah sekali,' pikir Dodi.

"Karena kami sudah tak butuh uang, maka uang segitu cukup untuk membayar semua yang kalian santap,"

Degh!

Dodi terhenyak, kenapa ucapan Ibu itu bisa sama seperti pertanyaan di pikirannya?

Dengan tangan gemetar, Dodi menyerahkan uang dua puluh ribu ke arah si ibu. Wanita gembul itu menerimanya. Sekilas Dodi melihat tangannya keriput dan begitu pucat, seperti tak ada aliran darah di sana.

"Apa pun yang terjadi, kalian jangan keluar dari dalam mobil,"

Sebelum mereka beranjak si Ibu sempat mengucapkan pesan. Setelah mengucap terima kasih, mereka berpamitan dan seperti tadi, Ibu hanya mengangguk tanpa menyahut.

Sikap Ibu itu tentu saja menimbulkan tanda tanya di benak kelima karyawan Reagan.

Mereka beriringan menyeberang jalan dan naik ke mobil masing-masing.

Mobil menyala berbarengan dan bergerak pelan untuk kembali mencari alamat.

Rasa penasaran menelisik di hati Jodi. Ia sempat melirik di kaca spion saat mobilnya bergerak perlahan. Warung itu gelap gulita, tanpa sedikitpun penerangan. Ia berusaha menepiskan segala rasa di hatinya, ia hanya ingin segera menyelesaikan tugasnya dan pulang.

Kelima orang itu tak menyadari jika dua sosok orang tua itu kini sedang memperhatikan mereka dengan sunggingan senyum sinis, usus yang terburai dan muka sebagian hancur, tangan kiri lelaki tua putus dan kaki kanan si ibu hancur. Mereka adalah korban tabrak lari, terlintas truck kontainer.

***

Saranjana I'm In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang