part 2

448 50 3
                                    

Bismillah

              Saranjana I'm In Love

#part_2

#by: R.D.Lestari.

"Pak ... maaf saya menggangu!" suara dengan nada penuh kekhawatiran begitu terasa.

"Ada apa, Tania. Nampaknya ada hal penting yang ingin kamu sampaikan, sampai lupa untuk mengetuk pintu," ujar Reagan dengan tatapan tak suka. Ia merasa sekretarisnya itu tak sopan.

"Ma--maaf, Pak, karena berita ini sangat mendesak, saya jadi lupa untuk mengetuk pintu," gadis itu menunduk takut.

"Ya, sudah, katakan apa yang membuatmu panik seperti ini," suara Reagan perlahan merendah hingga gadis berkacamata itu perlahan mengangkat wajahnya.

"Salah satu karyawan kita hilang, di kawasan hutan saat mereka sedang beristirahat,"

"Sebenarnya mereka ingin pulang, tapi begitu dapat perintah untuk terus lanjut, mereka akhirnya kembali mencari hingga masuk ke dalam hutan. Karena menurut salah satu penduduk, Saranjana itu terletak di tengah hutan,"

Reagan termenung mendengar penjelasan sekretaris yang sudah bekerja tiga tahun itu. Ia yakin jika yang di ucapkan Tania bukanlah kebohongan.

Namun, untuk seseorang yang punya jiwa modern seperti dirinya tentu tak mudah untuk percaya begitu saja. Hal konyol dan aneh menurutnya.

"Mereka kan punya otak untuk berpikir! di dalam hutan lebat mana ada perumahan! perkampungan pun tak ada. Cerita macam apa itu?"

"Tapi, Pak... Umar dan teman-teman berani bersumpah jika mereka tak menyadari masuk ke kawasan hutan," Tania berusaha meyakinkan.

"Kamu kira saya bod*h? mana ada sinyal di dalam hutan. Ini kok mereka bisa ngabarin?"Reagan tertawa renyah seolah sedang memenangkan undian.

Ya, orang kaya seperti Reagan sudah sangat sering ditipu karyawan dengan berbagai macam alasan hingga membuatnya menjadi sangat teliti dalam menghadapi semua aduan tentang karyawannya diluar sana.

"Mereka kini berada di perkampungan tak jauh dari hutan. Empat orang berhasil keluar, tapi salah satu dari mereka sampai saat ini belum di temukan,"

Raut wajah Reagan berubah. Alisnya terpaut dan keningnya mengerut. Otaknya berpikir keras.

"Siapkan tiket saat ini juga! aku akan berangkat dan menghubungi pihak kepolisian untuk mencarinya,"

"Oh, ya, siapa yang hilang?"

"Jodi, Pak,"

***

Kelima lelaki dewasa itu dengan tubuh lelahnya tetap melanjutkan perjalanan menuju Kota Sarjana seperti yang tertera di alamat.

Sayangnya, selama tiga puluh menit perjalanan tak nampak rumah selain kawasan hutan yang terasa amat panjang.

Dodi yang saat itu merasa perutnya tak enak, mulai berkomentar.

"Kok habis makan dan ngopi bukannya kenyang, malah sakit ni perut. Rasanya pengen muntah," keluh Dodi sembari menutup mulutnya. Mual.

"Kamu juga ngerasain ya, Dod? perutku juga," timpal Umar.

Dodi mengangguk. " Dod, kamu tadi lihat Bapak tua di kursi goyang, ga? perawakannya nyeremin,"

Dodi menatap Umar dengan raut wajah yang terheran-heran.

"Mana ada Bapak-bapak. Yang ada cuma Ibu tua,"

"Ah, masak kamu ga liat, Dod. Orangnya kurus, tinggi, matanya besar kek mau nerkam," seloroh Umar.

"Tu--tunggu, Bang. Aku mau muntah!" seru Dodi.

Umar panik, ia lalu menyerahkan plastik hitam pada Dodi. "Muntah di sini aja, Dod," serunya.

"Ah, ga mau, Bang. Berhentiin mobilnya," rengek Dodi.

Umar yang awalnya kekeh untuk terus melaju, akhirnya menepi. Jujur ada rasa ragu dan tak enak yang sedari tadi menghantui dirinya.

Teringat ucapan Ibu diwarung tadi, jangan pernah keluar dari mobil apapun yang terjadi.

Mobil akhirnya menepi dan Dodi keluar terlebih dahulu, menyusul Umar. Tiga temannya yang berada di mobil berbeda juga ikut berhenti dan mereka pun turut keluar.

"Huekkk!" Dodi mengeluarkan semua isi perutnya yang berontak ingin keluar. Berulang kali ia muntah, hingga tubuhnya terasa lemas.

Tak jauh dari tempat Dodi, Jodi juga muntah-muntah, menyusul Asep.

Setelah ketiga temannya lega, Umar yang membawa senter, karena suasana memang amat gelap tak sengaja menyenter ke arah muntahan Dodi.

Tubuhnya seketika bergidik ngeri. Matanya melebar dan tangannya bergetar demi melihat sesuatu yang bergerak diantara genangan air berwarna lumpur dengan binatang kecil yang meliuk-liuk berwarna merah seperti hati juga putih.

'Cacing? belatung?'

Seketika itu pula perut Umar serasa di putar-putar, mual, dan akhirnya ia pun memuntahkan isi perutnya. Ia merasa di mulutnya ada sesuatu yang bergerak-gerak.

"Huek! huekk!"

Umar menatap ngeri isi dalam perutnya yang ia senter, walau dengan tangan gemetar.

Sedangkan Dodi dan beberapa teman mereka asik berbincang. Setelah muntah tadi, mereka merasa lega, tanpa tau apa yang baru saja keluar dari mulut mereka.

Sedikit terseok, Umar mendekati keempat temannya yang saat itu asik bercengkrama.

"Kalian sudah melihat apa yang baru saja kalian keluarkan?" tanya Umar. Sontak keempat temannya itu menatapnya bingung.

"Maksud kamu apa, Mar?" Tohir yang satu-satunya diantara mereka yang tidak muntah tak mampu menahan rasa penasarannya.

"Ayo, ikut aku!" ajak Umar. Ia berbalik dan keempat temannya mengikuti langkahnya dengan sejuta tanya.

Umar mulai mengarahkan senternya ke arah muntahannya dan juga punya Dodi. Kontan semua orang di sana terperanjat.

"I--itu ... apa sama dengan yang dikeluarkan Jodi dan Asep?" tanya Dodi.

Umar mengedik dan melangkah ke tempat di mana dua temannya yang lain muntah. Benar saja, hal yang sama terjadi pada mereka.

Makhluk kecil berwarna merah dan putih itu menggeliat. Bukan hanya satu, tapi banyak. Membuat mereka seketika mual.

"Berarti cuma aku saja yang tak muntah," Ujar Tohir yang lantas membuat teman-temannya menatap ke arahnya.

"Apa mungkin ini terjadi karena kita makan di warung tadi?" Jodi berspekulasi.

"Saat kita melaju, aku tak sengaja menoleh dan melihat warung itu gelap gulita," lanjutnya.

"Akupun merasakan hal yang aneh saat berada di dalam warung. Saat baca bismillah kopi itu berubah jadi bau lumpur, padahal sebelumnya aroma kopi amat memikat," sela Tohir.

"Apa menurut kalian kita masuk warung gaib, gitu? hiii," timpal Umar seraya memegang tengkuknya yang meremang.

"Ya, siapa tau? apa kalian tak melihat keanehan?" tanya Asep. Yang lain hanya menggeleng.

"Kalian tadi merhatiin, ga. Waktu kita di mobil, jalanan cukup ramai berlalu lalang walau keadaan gelap tanpa lampu penerangan, tapi tak terdengar bunyi tabrakan,"

"Iya, ya, sekarang kok jadi sepi?" Tohir menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Sudah, ayo kita masuk ke mobil. Anggap saja ini angin lewat. Banyak berdoa, semoga Allah selalu melindungi kita," ucap Tohir.

"Aamiin," ucap yang lain berbarengan. Mereka akhirnya masuk ke mobil masing-masing.

Baru saja beberapa saat mereka kembali di jalan. Lampu penerangan yang semula mati tiba-tiba menyala.

Saat mereka melewati beberapa lampu, siluet bayangan wanita tampak samar di bawah temaram lampu.

"Dod, apa kamu lihat cewek di sana?" tunjuk Umar. Dodi mengangguk ragu.

"Kita tolongin, yuk,"

****

Saranjana I'm In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang