part 5

317 39 1
                                    

Bismillah

         Saranjana I'm In Love

#part 5

#by: R.D.Lestari

Karena di dera rasa lapar, kelima orang tadi segera makan dan melahap makanan yang ada di nampan.

Mata Tohir terbelalak saat memperhatikan Jodi yang sedang melahap kue berwarna hijau dan merah, saat Tohir hendak mencegah, kue itu sudah hancur lebur dalam sekejap di dalam mulut Jodi. Dan saat itu semua orang menatap tajam pada Jodi. Senyum sinis tersungging di wajah mereka, berikut pengantin yang tiba-tiba berdiri dan bertepuk tangan.

Suasana jadi ramai dengan riuh rendah tepuk tangan dari berbagai arah. Seketika semua orang berdiri dan meninggalkan tempat acara. Suasana kembali hening. Pengantinpun turun dari panggung dan menghilang bersama perginya orang-orang.

Tinggallah Bapak tadi yang tanpa mengucap sepatah katapun pergi, wajahnya datar seolah tak mengenal lima orang yang masih terdiam melihat keanehan.

"Apa yang terjadi dengan semua orang?" bisik Umar.

"Sudahlah, jangan dipikirkan. Sekarang mari kita istirahat. Menjelang siang kita kembali ke Kota,"perintah Dodi yang di angguki semua temannya.

Mereka akhirnya memutuskan untuk beristirahat di gedung besar yang terbuat dari kayu. Dengan beralas tangan yang dilipat di belakang kepala mereka akhirnya terlarut dalam kantuk dan tertidur begitu nyenyak.

Tanpa mereka sadari, puluhan bahkan ratusan mata berwarna merah menatap gerak gerik mereka tanpa henti, senyum tersungging di bibir mereka.

Salah satu dari lima orang itu sudah melanggar pantangan yang disebutkan, dan itu berarti ia harus tinggal selamanya di tempat yang penuh halusinasi semata.

Lima orang lelaki itu tak menyadari bahaya yang kini mengintai, karena yang sebenarnya terjadi, tempat yang sekarang mereka datangi adalah hutan luas yang amat rindang, bukan sebuah perkampungan manusia, melainkan perkampungan makhluk tak kasat mata.

***

Pagi menjelang, matahari masih malu-malu menampakkan dirinya. Kelima orang itu bangun. Rasa lapar kembali mengusik perut mereka.

Dodi yang menjadi ketua berinisiatif untuk mencari makan. Mereka akhirnya keluar dari gedung yang ketika pagi nampak lebih indah.

Kabut kembali menemani pagi hari yang terasa amat dingin menusuk kulit.

"Kok sepi, ya, Dod?" tanya Umar.

"Iya, sepi banget ga kayak tadi malam," sahut Dodi.

Dodi menoleh ke arah Jodi yang nampak sangat pucat, tak seperti teman-temannya yang lain.

"Kamu kenapa, Jod? pucet banget," ujar Dodi  khawatir.

"Ga apa Pak Dodi, sedikit pusing saja," kilah Jodi.

"Oh, syukurlah... tapi, tunggu dulu, sebelum kita pergi, saya mau nelpon Bu Tania dulu. Mau tanya gimana baiknya ni mobil,"

Dodi merogoh ponsel yang ia simpan di kantongnya. Memperhatikan layar handphonenya. Baterai tinggal sedikit, dan sinyal hilang timbul.

Tak mau membuang waktu, jempol Dodi kembali bermain di layar dan mencari nama Tania, wanita kepercayaan Bos tempatnya berkerja.

["Halo, Bu Tania, begini Bu, alamat yang di berikan tidak bisa kami temukan, apakah kami bisa segera pulang, Bu?"] tanya Dodi penuh harap .

Entah apa yang di ucapkan wanita di seberang sana, wajah Dodi berubah pias saat menutup telpon.

"Ngapa, Bang?" Asep yang tak mampu menahan rasa penasaran langsung bertanya.

"Ya, kita di suruh tetep nyari tu alamat. Sekarang juga, tanpa terkecuali," Dodi mendengus kesal.

"Ah, gila Bos kita! capek banget ini," keluh Umar.

"Ya, sudah, setelah sarapan kita lanjut cari alamat," ujar Dodi lemah. Keempat temannya hanya mengangguk perlahan.

Mereka akhirnya mencari warung atau tempat makan di kampung yang terasa amat dingin dan sepi.

Nihil, tak ada satupun rumah atau toko yang buka. Mereka akhirnya melepas penat di pinggir jalan, sampai akhirnya Bapak yang tadi malam datang dengan membawa senampan buah-buahan beraneka warna.

"Ini, makanlah sebelum kalian melanjutkan perjalanan. Saranjana tidak jauh lagi. Ikuti saja jalan itu dan belok sebelah kanan jika nampak persimpangan,"

"Terima kasih, Pak," sahut mereka serentak.

"Sama-sama. Kalau begitu saya permisi dulu," jawabnya singkat seraya menunduk dan memutar tubuhnya.

"Oh, iya, Pak. Ke mana semua orang? kenapa suasana amat sepi?" tanya Umar.

"Oh, itu, mereka sedang menunggu tamu agung untuk bergabung. Pengantin pria yang akan segera datang dan menemui pengantin wanita tadi malam," jelasnya, tapi Bapak itu tetap melanjutkan langkahnya.

Kelima orang itu saling pandang, heran. Namun, memilih untuk tak menghiraukan. Mereka asik menyantap buah-buahan yang teramat manis dan membuat mereka tak ingin berhenti.

Setelah nampan kosong, mereka bingung mau mengembalikan kepada siapa. Akhirnya nampan begitu saja mereka biarkan. Kabut tebal masih memenuhi tempat.

Dodi yang menjadi ujung tombak memerintahkan untuk melanjutkan perjalanan seperti yang Bapak tadi sebutkan.

Benar saja, saat sudah berada di dalam mobil, mata mereka terkesima saat melihat bensin di mobil sudah terisi penuh.

Umar menatap sesuatu yang ada di gantungan. Kain hitam yang di bentuk seperti kantung.

Saat Umar ingin menyentuh benda itu, Dodi kembali memerintah untuk segera memulai perjalanan. Umar pun mengalah dan memutar mobilnya.

Mereka kembali melanjutkan perjalanan sembari berkonvoi ria. Bagi mereka tak ada keluh kesah. Mereka butuh pekerjaan ini, demi untuk menyambung hidup orang-orang yang sedang menunggu di rumah.

Baru saja sebentar keluar dari perkampungan, perut Jodi kembali mual dan kepalanya seperti berputar-putar. Teramat sulit baginya untuk melanjutkan perjalanan. Ia memilih menepikan mobilnya.

Disaat yang bersamaan, dua mobil temannya terus melaju kencang tanpa tau apa yang menimpa salah satu teman mereka.

Jodi merogoh kantung celananya. Mencari ponsel untuk menghubungi keempat temannya, tapi naas! ponselnya kehabisan baterai.

Kabut yang semula memenuhi tempat semakin menipis. Jodi yang tak mampu menahan ras pusing di kepalanya hanya mampu menyandarkan kepalanya dan tak lama ia merasakan dunianya gelap gulita.

Dalam kegelapan Jodi seperti mendengar derap langkah kaki menghentak, tapi bunyinya berbeda dengan kaki manusia. Seperti derap suara kaki kuda.

Tak lama ia merasakan tubuhnya seperti terangkat, tapi ia seperti mematung. Tubuhnya seolah mati rasa. Jangankan untuk menggerakkan tubuhnya, membuka matapun ia tak bisa.

Dalam kegelapan, ia mencium aroma bunga-bunga begitu kental terasa. Perlahan ia merasa tubuhnya berada pada benda empuk yang membuatnya merasa nyaman.

"Tidurlah calon pengantinku," itulah suara merdu yang terakhir ia dengar sebelum akhirnya ia benar-benar terlelap.

***

Sementara keempat temannya tak menyadari Jodi yang tertinggal, mereka akhirnya tiba di persimpangan jalan. Saat mobil belok ke sebelah kanan, kabut yang awalnya tebal perlahan menipis dan pandangan semakin terlihat jelas.

Betapa terkejutnya mereka saat kabut benar-benar hilang. Bukan lagi jalan tol yang mereka lewati, melainkan berada di hutan lebat yang anehnya saat mobil di rem mendadak, tak satupun pohon tumbang ataupun tersentuh keberadaannya.

Saat mereka turun dan berkumpul beribu tanya ingin terucap, tapi salah satu dari mereka merasa heran karena jumlah mereka tak lagi sama.

"Jodi? mana Jodi?"

***

Saranjana I'm In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang