part 19

296 34 2
                                    

BisMillah

              Saranjana I'm In Love

#part 19

#by: R.D.Lestari.

Reagan berusaha menghubungi nomor yang tadi mengirimnya pesan. Nihil. Tak ada tanggapan dan tak tersambung.

Reagan hanya mampu menghela napas dalam. Bagaimana ia akan mengucapkan selamat tinggal pada Jelita?

Semua penuh teka-teki, dan gadis itu diselimuti misteri.

"Pak, sudah jam sepuluh lewat. Bukankah kita akan kembali ke jakarta siang ini?" ucap Willy hati-hati. Ia melihat raut wajah Reagan yang muram dan kecewa.

"Ya, kau benar. Aku menunggu di lobby. Silahkan kamu berkemas," jawab Reagan seraya mengangguk lemas.

Willy menurut dan langsung naik ke atas, sedang Reagan melangkah pelan ke lobby hotel dan memesan secangkir kopi cappucino sebagai teman selama menunggu Willy turun.

Pria matang itu merogoh kantung celananya dan meraup ponsel yang ada di sana. Tangannya mulai menggulir, mencari pesan yang tadi masuk. Ia berusaha mengirim pesan balasan, tapi sayang, hanya centang satu yang ia terima.

Kembali ia meneguk rasa kecewa. Kenapa di saat genting seperti ini gadis itu teramat sulit di hubungi?

Tak lama Willy turun dan mobil yang akan mengantar sudah bersiap di depan. Tanpa banyak bertanya, Reagan yang sudah di informasikan Willy, langsung masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang.

Pandangan matanya menatap ke arah luar. Masih diliput perasaan ragu untuk kembali pulang. Dalam lubuk hatinya, ia amat ingin bertemu dengan Jelita, meski untuk sesaat.

Mobil menderu dan melaju cukup kencang, tanpa sadar sudah melewati hutan di mana ia tersesat beberapa waktu lalu.

Sekilas, ia seperti melihat seorang gadis berdiri di sisi hutan, melambai dan tersenyum manis padanya.

Reagan yang saat itu sedang tak fokus, memutar kepala dan tubuhnya menghadap ke belakang.

Lagi dan lagi hanya kecewa yang ia dapat. Tak ada apa-apa di belakang. Hanya barisan pepohonan yang tinggi menjulang.

Reagan menekuk wajahnya saat kembali menghadap kedepan. Apa yang tadi ia lihat hanya halusinasi?

Reagan menyentuh dadanya. Rasanya sakit. Meski tadi malam ia bersama Jelita, ia merasa tak cukup. Ia ingin bersama lagi dan lagi.

Melihat senyum, sikapnya yang apa adanya, tawa yang lepas, seperti punya magnet yang membuat Ia ingin terus berada di dekatnya.

Rambutnya yang panjang, kulitnya yang putih sebersih susu, wanginya yang khas, seperti wangi bunga yang baru mekar, aromaterapi saat berada bersamanya.

Bibirnya yang penuh dengan warna pink alami, jika tersenyum tampak sangat cantik meski tanpa polesan.

Apa pun yang ada pada dirinya, Reagan suka. Sebagai pemuja, Reagan seolah lupa dia siapa. Saat berada di dekatnya, lelaki tampan itu merasa menjadi orang biasa, karena Jelita sama sekali tak memperlakukannya spesial.

Meski mungkin ia tahu kalau Reagan bukan orang biasa, pemilik perusahaan besar yang punya segalanya, uang, tahta dan semua yang wanita impikan.

Sesampainya di Bandara, Willy hanya menatap bosnya tanpa mau bertanya. Ia melihat Reagan seperti tak punya semangat hidup. Semenjak atasannya itu tiba dan tersesat, banyak hal aneh yang mengikutinya, dan semua seperti diluar nalar. Entahlah, apa memang bosnya masih berada di bawah pengaruh makhluk astral?

Reagan yang masih memikirkan Jelita hingga pesawatnya terbang kembali ke Jakarta, tak sedikitpun bicara. Hanya diam. Willy pun tak ingin mengganggu, karena ia melihat gelagat Reagan seperti orang yang baru putus cinta, tapi dengan siapa?

Willy amat mengenal Reagan. Selama ini tak pernah ada satu gadispun yang dekat dengannya. Reagan  selalu cuek dan menepis semua cinta yang mencoba memasuki hatinya.

Namun, berbeda dengan saat ini. Apa mungkin diam-diam Reagan bertemu seorang gadis? tapi siapa? kenapa ia tak pernah melihatnya?

***

"Terima kasih, Willy. Kamu boleh pulang," ucap Reagan saat Willy membantunya mengangkat semua barang-barang dan meletakkan di lantai.

Willy mengangguk pelan dan mengulas senyum, sedang Reagan segera masuk ke rumah begitu asisten rumah tangga menyambutnya.

"Hai, Sayang ... sudah pulang?" Reagan menoleh saat mendengar suara wanita menyapanya.

"Mommy?"

"Ya, Sayang... sini, Mommy kangen sama kamu," wanita yang rambutnya disasak itu melambaikan tangannya ke arah Reagan.

Reagan mendekat dan memeluk mommy nya. Merasakan kehangatan pelukan ibu yang perlahan mengikis rasa kecewanya.

"Hei, anak manja sudah pulang?" Reagan mengurai pelukannya dan menatap lelaki yang baru saja menegurnya.

"Wilson? kau sudah pulang?" Reagan menatapnya heran.

"Ya, aku datang dan pergi sesuka hati. Kan cuma lihatin. Kau tau sendiri, Reagan? aku tak suka berada di kantor," Wilson meletakkan pantatnya di sofa samping Reagan.

Reagan hanya menggeleng pelan. Mau kesal juga percuma. Begitulah Wilson, lebih memilih musik ketimbang belajar berbisnis seperti dirinya.

"Ya, terima kasih sudah menolongku beberapa hari ini. Mommy, Wilson, aku permisi. Mau istirahat dulu," Reagan bangkit dan melangkah pelan ke arah kamarnya. Pikirannya ruwet. Lelah. Ia ingin istirahat.

***

Mommy menatap dalam wajah putra keduanya. Wilson hanya memutar bola matanya.

"Sampai kapan kamu mau begini? musik tak akan membuatmu kaya," cibir Mommy.

Wilson terdengar mendengus kesal. "Mommy, semua orang punya pilihan sendiri. Aku lebih suka bermusik,"

Wilson lantas berdiri dan menghentak kaki sebelum memutar tubuhnya dan berjalan meninggalkan Mommy yang masih terdiam. Kesal.

Derrt! derrrt!

Ponsel Wilson bergetar saat ia baru saja menjejakkan kaki di kamarnya. Ia segera mengangkat dan meletakkan di dekat telinga.

["Ya, Berlian, aku akan segera ke sana,"]

["Apa? kau yang akan datang ke rumah?"]

Tut-tut-tut!

Hufffttt!

Wilson menghentak tubuhnya di atas kasur. Suara dari ujung telpon membuatnya gusar. Managernya, Berlian, murka. Jadwal yang sudah di tetapkan terancam bubar karena Wilson sudah lama tak ikut latihan, sedangkan minggu depan mereka akan memulai konser di daerah Doka-doka, Kalimantan.

"Aghh! ini semua gara-gara Reagan!" umpatnya kesal.

***

Reagan tak mampu menutup matanya. Seolah rasa kantuk itu lenyap begitu saja.

Ia kemudian melangkah keluar kamar menuju kolam renang. Ingin merendam tubuhnya yang terasa lengket dan lelah.

Berharap dengan berenang tubuhnya menjadi lebih segar dan bugar.

Byurrr!

Ia melompat dari ujung kolam renang dan menggerakan tangan dan kakinya dengan teratur. Air memang mampu membuat semangatnya bangkit kembali.

Setengah terengah, Reagan kemudian bersantai di ujung kolam renang. Sembari menikmati jus jeruk yang dibuat oleh asisten rumah tangganya, ia bersandar dan kakinya masih mengapung di air.

Di waktu yang bersamaan, Reagan mendengar hentakan langkah kaki yang tergesa mendekatinya. Semakin dekat suaranya semakin kuat. Reagan hanya terdiam dan tak ingin melihat siapa yang kiranya datang.

"Wilson! cepat keluar dari dalam air!"

"Kita harus bicara, Wilson. Aku marah sama kamu!"

Reagan cuek. Merasa bukan dirinya yang di ajak bicara. Ia terus meneguk jusnya dengan santai.

"Wilson! kau benar-benar...,"

"Aaaaa!"

Byurrr!

****

Saranjana I'm In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang