part_6

331 43 3
                                    

Bismillah

         Saranjana I'm In Love

#part_6

#by: R.D.Lestari.

Betapa terkejutnya mereka saat kabut benar-benar hilang. Bukan lagi jalan tol yang mereka lewati, melainkan berada di hutan lebat yang anehnya saat mobil di rem mendadak, tak satupun pohon tumbang ataupun tersentuh keberadaannya.

Saat mereka turun dan berkumpul beribu tanya ingin terucap, tapi salah satu dari mereka merasa heran karena jumlah mereka tak lagi sama.

"Jodi? mana Jodi?"

"Lha, iya. Jodi mana?" Dodi mengedarkan pandangan, dua mobil besar teronggok dan tiba-tiba sulit untuk dihidupkan.

"Bagaimana Pak Umar, apa bisa mobilnya hidup?" Tohir memandang gundah.

Umar hanya mengangkat bahu. "Dah capek, Hir. Mobilnya tiba-tiba ngadat, padahal waktu ada kabut lancar jaya," Umar menanggapi.

Asep memandang sendu. Ia memilih duduk di atas rumput sambil menengadah, menatap langit yang biru dan cerah dengan awan putih berarak.

"Sebenarnya kita ini salah apa, ya? Jodi tiba-tiba hilang. Bapak Dodi tolong telpon, mana tau ada sinyal,"ucap Asep lemah, ia frustasi menghadapi kejadian aneh yang ia temui selama tiba di tanah Kalimantan.

"Kalau ada sinyal, ga mungkin saya khawatir seperti ini," keluh Dodi, ia menyandarkan tubuhnya di badan mobil truck yang terparkir.

"Lebih baik kita keluar dulu dari hutan, cari perkampungan dan minta pertolongan, di sini terus kita bisa mati kelaparan," ujar Tohir memberi solusi.

"Yups, saya setuju. Kejadian ganjil semoga sampai di sini. Kita harus keluar dari hutan ini," Asep yang semula duduk dengan raut wajah murung kembali berseri.

Umar meraih barang berharga dan minuman yang ada di dalam mobil. Begitu juga Dodi, Asep dan Tohir.

Gegas empat orang lelaki dewasa itu menebus lebatnya hutan. Perjalanan dua jam tak sia-sia, mereka akhirnya sampai di pinggir hutan.

Suara deru kendaraan terdengar amat jelas, membuat semangat mereka kembali bangkit. Benar saja, mereka akhirnya sampai di samping jalan aspal.

Kendaraan banyak yang berlalu lalang, mereka melambai untuk mencari tumpangan ke kampung terdekat.

Beruntung bagi mereka, ada sebuah mobil pick up yang mau berhenti dan memberikan tumpangan pada mereka.

Setelah bernegosiasi, sopir tanpa banyak tanya mengantar mereka ke sebuah perkampungan warga terdekat.

Setelah mengucap terima kasih, Dodi dan kawan-kawannya segera meminta bantuan pada warga.

Warga kampung ternyata amat ramah. Berbeda dengan kampung sebelumnya, kampung yang mereka datangi saat ini tampak biasa-biasa saja.

Rumahnya pun terkesan sederhana tapi listrik sudah ada. Mereka menumpang cas telpon genggam yang memang habis daya.

Dodi dan kawan-kawan akhirnya di bawa ke rumah kepala desa yang kebetulan berada tak jauh dari jalan masuk perkampungan.

"Berdasarkan cerita Pak Dodi, bisa jadi teman Pak Dodi sekarang berada di kampung jin. Soalnya kampung yang Bapak datangi semalam itu bukan kampung biasa,"

Keempat orang itu saling berpandangan. Merasa ngeri dengan apa yang dialami dan kejadian-kejadian ganjil yang kembali terngiang di dan bermain di pikiran masing-masing.

"Kami sangat mempercayai jika di sekitar hutan ini masih banyak kampung-kampung gaib yang tak kasat mata. Itulah makanya kami amat menjaga pantangan,"

"Kata orang tua, jika tak sengaja masuk ke kampung mereka, makanlah yang berwarna putih dan jernih, juga pilihlah dedaunan atau buah saja, itu lebih aman,"

"Jika kita melanggar pantang, maka jangan salahkan jika kita menjadi salah satu penghuni dan tinggal di dalamnya," beber Pak Kades.

"Lagian, kenapa Bapak-bapak bisa sampai tersesat di hutan?" tanyanya lagi.

"Iya, Pak. Kami juga bingung, ke napa bisa tiba-tiba berada di hutan. Mobil pun tiba-tiba mogok,"

"Ini semua gara-gara Bos kami yang keras kepala. Ia ingin kami segera mengantar pesanan dua unit mobil truck ke kota Saranjana," jelas Dodi, sedangkan teman-temannya yang lain hanya mengiyakan sembari menyantap ubi rebus dan kopi hitam manis suguhan si empunya rumah.

"Saranjana? apa kalian tak salah dengar?"

Mereka semua kompak menggeleng. Sementara Pak Kades menyenderkan tubuhnya didinding dengan helaan napas gusar. Ia menyesap rokoknya kuat dan menghembuskan perlahan, kepulan-kepulan asap mulai memenuhi ruangan.

"Sampai kapan pun kalian tak akan menemukan Kota yang kalian cari. Kami saja yang orang sini tak pernah tau di mana persisnya kota itu berada. Sudah jadi rahasia umum jika itu adalah kota gaib yang tak sembarangan orang bisa masuk ke sana," tutur Pak Kades.

"Tapi, Pak... saya mendengar sendiri dari sekretaris Bos jika orang yang memesan sudah transfer, Pak," kilah Dodi yang merasa ucapan Pak Kades hanya bualan semata. Mana ada makhluk gaib yang bisa transfer melalui Bank?

"Saya tau Bapak pasti ragu. Saya maklumi itu. Saran saya, Bapak silahkan telpon Bos Bapak sekarang juga,"

"Kita harus segera mencari teman Bapak sebelum hal buruk terjadi padanya. Jika sudah menikah dengan makhluk sana, teman Bapak ga bisa pulang, hanya jasad yang akan kita temukan,"

Umar, Dodi, Asep dan Tohir bergidik ngeri. Tak bisa di bayangkan jika Jodi pulang ke Jakarta hanya tinggal nama.  Bagaimana nasib ke dua orang tuanya dan istrinya yang sedang hamil muda?

"Baik, Pak. Saya akan menghubungi kantor dulu. Mencari solusi yang terbaik," jawab Dodi sembari bangkit dan meninggalkan ruangan.

"Teman kalian kemungkinan ada melanggar pantang. Mereka tak sembarang mengambil jiwa orang, karena sesungguhnya mereka tidaklah jahat. Mereka sama seperti kita, punya rasa marah dan kesal jika peraturan yang mereka buat dilanggar dengan sengaja," kembali Pak Kades bercerita.

"Bapak benar sekali. Malam itu Jodi memang mengambil kue berwarna hijau dan merah. Sedangkan kami hanya makan kue ketan putih bertabur kelapa manis. Gurih, manis dan enak," papar Umar yang membuat Tohir dan Asep mengangguk serentak.

"Itulah salah teman kalian, apa tak ada yang mengucapkan pantangan di sana?" ujar Pak Kades.

"Berdasarkan dari cerita warga yang pernah masuk dan berhasil keluar dari sana, ada seorang Bapak yang dengan lugas memberi tahu apa saja pantangan di sana,"

"Syukurnya ia patuh dan pulang dalam keadaan selamat," kembali Pak Kades menyesap rokoknya yang tinggal separuh dan menciptakan kabut tipis menyelimutinya.

Mereka terdiam dan bergidik ngeri dengan apa yang mereka alami tadi malam. Jika saja mereka sama seperti Jodi, bisa jadi pagi ini nasib mereka akan sama seperti lelaki yang akan menjadi ayah itu nantinya.

"Kita tak punya banyak waktu. Harus mengadakan upacara untuk mengembalikan Jodi. Ingat yang kalian datangi bukan sembarang tempat,"

"Jadi ... kami harus bagaimana, Pak. Apakah itu yang mereka bilang 'Saranjana?'

Pak Kades terdiam sejenak. Ia lalu menggeleng pelan.

"Bukan, Saranjana itu ...,"

***












Saranjana I'm In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang