part 11

313 38 3
                                    

Bismillah

             Saranjana I'm In Love

#part 11

#by: R.D.Lestari.

Semua orang mengucap syukur saat mereka membuka mata, mendapati Jodi di tengah-tengah mereka.

Jodi pun tak kalah bahagia. Ia lalu bangkit dan memeluk keempat temannya.

Mendapati hari mulai petang, mereka semua berniat pulang. Namun, Pak Kades terlihat linglung. Ia terus memperhatikan sekitar seperti merasa kehilangan.

Jodi terdiam. Ia sebenarnya tau jika Pak Kades pasti mencari bosnya, tapi jika ia jujur, apa orang-orang tak menyalahkannya?

"Apa kalian ada melihat Pak Reagan? mana dia? kenapa dari tadi aku tak melihatnya?"

Dodi yang mendengar langsung berdiri dan ikut mencari.

"Berhenti! kita tak mungkin terus mencari. Hutan ini sangat berbahaya saat malam,"

"Selain bisa jadi santapan hewan liar, kita pun bisa tersesat dan masuk ke kampung gaib. Apa kalian mau bernasib seperti saudara yang baru kita temukan ini?"

Semua orang terdiam mendengar ucapan sesepuh. Mereka lalu beringsut mundur dan menurut.

"Lantas bagaimana dengan Bos saya? dia bisa saja celaka di dalam sana!" teriak Dodi.

"Sabar, Dod. Ini di luar kuasa kita," Asep berusaha menenangkan.

"Bro, yang hilang ini Bos kita! kalau  sampai dia kenapa-kenapa, kita bisa celaka!"

"Tapi... Dod...,"

"Apa kau mau bernasib sama seperti temanmu itu? jangan macam-macam jika tak ingin celaka! mereka bukan makhluk sembarangan!" Pak Kades menarik tangan Dodi dan memaksanya untuk ikut pulang bersama yang lain.

Dodi akhirnya menyerah. Bukan ia tak ingin menolong Reagan, tapi ia pun tak ingin menjadi korban selanjutnya.

Tempat yang mereka datangi bukan tempat biasa. Tanah yang mereka jejaki saat ini penuh misteri.

***

Sepanjang perjalanan pulang, Dodi berusaha mengingat kembali saat-saat di mana ia di sekap dan bagaimana rupa makhluk yang menculiknya.

Teman-temannya bergidik ngeri begitupun Pak Kades yang ikut dalam satu mobil dengan mereka.

"Jadi, sebenarnya malam itu kita bukan di tolong, melainkan memang di jebak untuk mengambil salah satu dari kita?" Umar berspekulasi.

"Ya, aku rasa seperti itu, dan anehnya, kenapa malah Pak Reagan yang ikut hilang?" tanya Asep sembari mengetuk jari telunjuknya di dagu. Mikir keras.

"Hmmh, entahlah. Tadi aku sempat melihatnya di kejar makhluk itu saat mereka melemparku begitu saja,"

"Ooops!" Jodi segera menutup mulutnya. Keceplosan.

"Apa?! jadi sebenarnya kamu tau, Jod? kok kamu diam aja tadi! wah parah kamu, ya!" Dodi menatap kesal Jodi yang wajahnya berubah pias. Ia langsung menutup mulutnya dan tak bersuara.

"Arggh! sial!" Dodi menjambak rambutnya kesal.

Seharusnya setelah menemukan Jodi, mereka bisa sedikit bernapas lega dan berleha-leha, tapi ini? besok mau tak mau mereka harus kembali ke dalam hutan dan mencari Bos Reagan hingga ketemu.

Ini bukan hal yang mudah. Mengingat medan yang terjal dan hewan liar juga buas masih banyak di sekitar. Belum lagi makhluk tak kasat mata.

"Sudah, lah, Dod. Besok kita pikirkan lagi. Malam ini kita istirahat, agar besok kita punya tenaga untuk mencari Pak Reagan," Umar menepuk-nepuk punggung sahabatnya.

Dodi menghela napas dalam. Ia lalu mengambil kotak rokok di saku celananya. Mengambil satu puntung dan menyelipkannya di tengah bibir. Meminjam pemantik api dengan Umar yang ada di sebelahnya.

Berulang kali ia menghisap rokok dan asap mulai memenuhi mobil. Umar membuka salah satu kaca hingga asap mulai keluar.

Dodi tak banyak bicara. Merasa kesal hingga mereka sampai di Desa .

***

Hingga hari makin gelap, Jelita tak jua muncul. Rasa takut mulai merajai hati seorang pemimpin muda  Reagan Motor Company.

Lelaki bertubuh ideal itu melepas kemeja yang melekat di tubuhnya.

Hujan mulai turun rintik-rintik, membuatnya harus menutup kepala karena tetesan air merembes di dedaunan yang di jadikan atap.

Srekkk-srekkk!

Bulu kuduknya beridiri. Di hutan lebat seperti ini, pastilah banyak hewan liar di sekitar.

Suara itu membuat nyali Reagan semakin ciut. Ia mempererat pelukannya pada kaki, meringkuk dan menenggelamkan wajahnya diantara pahanya.

Seumur hidup ia tak pernah merasa takut. Baru saat ini ia merasa nyawanya di ujung kuku. Suara itu semakin kencangkan dan mendekat.

Ssshhh-sshhhh!

Reagan mengangkat wajahnya. Suara desisan dan ranting yang terinjak membuat matanya melebar, waspada.

Tubuhnya bergetar hebat saat matanya menyorot makhluk sebesar batang kelapa meliuk dengan jarak yang cukup jauh darinya.

Pendar cahaya bulan menimpa kulit makhluk hitam besar yang meliuk menuju sungai. Kulitnya memantulkan sinar indah.

Reagan bergidik ngeri. Berharap makhluk raksasa itu tak hendak menyantapnya dan tak menyadari kehadirannya.

Namun, naas bagi Reagan. Mata makhluk itu berkilat dan berbelok ke arahnya.

Reagan hanya bisa terdiam. Ia ingin lari, tapi tubuhnya masih lemah. Sedang mahkluk hitam yang ternyata ular itu semakin mendekat. Kepalanya yang besar seperti tampah menjulurkan lidah panjang seolah tak sabar ingin menyantap.

Reagan semakin pasrah saat jarak makhluk itu hanya tinggal beberapa meter saja. Saat mulutnya yang lebar menganga dan siap menyantap, Reagan yang pasrah menyebut lirih nama gadis yang baru saja di kenalnya.

"Jelita ...,"

Crakkkk!

Mata Reagan melebar. Satu tebasan mampu memotong kepala ular yang berjarak tiga meter darinya. Ular besar itu menggelepar tak berdaya dengan kepala dan tubuh yang terpisah bersimbah darah.

Gadis itu berdiri dengan salah satu kaki berada di atas tubuh Ular dengan senyum terulas.

"Kau takut, Tuan Muda?! pasti kau belum pernah menemui makhluk raksasa seperti ini, bukan?"

"Ini Kalimantan, Tuan. Penuh makhluk misterius dan besar. Jangan heran. Jika ingin bertahan hidup kau tak boleh manja,"

Gadis itu mendekat dengan wajah penuh kemenangan. Ia terkekeh melihat gurat ketakutan di wajah Reagan.

"Dah, ga usah takut. Ini aku bawain makanan. Aku rasa kau pasti kangen makanan enak, 'kan?"

Gadis itu menyerahkan kantong berwarna merah. Reagan dengan sigap membukanya.

Matanya berbinar melihat isinya. Roti-roti yang harumnya semerbak dan ayam berukuran besar dengan aroma memikat.

Reagan begitu lahap karena memang perutnya sedari tadi sudah pedih menahan lapar.

Jelita hanya tersenyum melihat pria tampan itu begitu lahap. Ia memperhatikan setiap inci wajah berahang tegas itu.

Ada rasa iba terselip di hatinya, dan juga pujian, tentunya. Baru kali ini ia melihat manusia begitu tampan.

Selama ini ia hanya melihat wajah yang biasa, hingga tak pernah ada rasa di hatinya, walau sekedar pujian.

Kulit putih Reagan, matanya yang berwarna ke abu-abuan dan gaya berbusananya yang rapi membuat mata gadis itu tak bisa berpaling.

Merasa di perhatikan, Reagan balik menatap, ia tersenyum manis membuat si gadis salah tingkah.

"Kenapa, aku tampan, ya?" Reagan terkekeh.

"Issh, jangan kepedean. Cepat makan, besok aku antar kau pulang," gadis itu melengos dan menatap ke arah lain.

"Pulang? kalau begitu kita ...,"

"Kita....,"

****

Saranjana I'm In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang