Surat 2

173 30 2
                                    

Usai memberesi kamar, Andam beranjak ke ruang makan. Aroma sayur sop dan ayam goreng kremes rempah sukses membuat cacing-cacing di perutnya memberontak. Meski sepuluh tahun terpisahkan, Pak Cakra masih ingat betul menu makanan favorit putri semata wayangnya.

Andam menghirup dalam-dalam aroma gurih yang bertebaran ke penjuru rumah. Ah, bukan saja aroma gurih. Andam bisa mendeteksi sensasi pedas di hidungnya. Sayur sop dan ayam goreng kremes rempah tidak akan lengkap dengan sambal tomat. Untuk Andam, Pak Cakra adalah koki terhebat di rumah mereka. Daripada makanan sang ibu, Andam justru lebih sering melahap masakan sang ayah.

"Wah, Pak Cakra benar-benar tahu bagaimana membuat anaknya tak berkutik." Andam melongok ke atas meja sambil meneguk ludah.

Sayur sop dalam panci kecil masih mengepulkan uap. Ayam goreng kremes rempah bersanding dengan perkedel tahu. Tidak lupa, sambal tomat dengan aroma jeruk limau mengisi mangkuk beling mini.

"Sepertinya, kemampuan koki Pak Cakra belum memudar." Andam beranjak ke salah satu lemari khusus alat makan. Diambilnya dua piring beling, satu mangkuk kecil, dua sendok, dan dua gelas beling lalu menatanya di meja. Tidak lupa mengisi gelas dengan teh hangat yang sudah disiapkan Pak Cakra.

Andam menyeruput sedikit dari gelas miliknya. Tawar.

"Ayah enggak tahu bumbunya masih seenak dulu atau sudah berubah. Sejak kamu enggak ada di rumah, Ayah jarang masak sendiri." Pak Cakra meletakkan menu susulan. Bakwan udang. Salah satu kudapan yang juga menjadi favorit Andam. Setelahnya, lelaki berusia hampir lima puluh delapan tahun itu duduk.

"Ayah itu berbakat memasak. Sampai kapan pun, kemampuannya enggak akan menghilang." Andam menyusul duduk, meraih piring di hadapan Pak Cakra, dan menyendok satu centong nasi. "Segini cukup?"

"Tambah sedikit lagi. Kalau ada kamu, nafsu makan Ayah bisa lebih baik."

Andam tersenyum samar sembari menambah porsi nasi.

"Ayah enggak makan dengan baik, ya, saat Andam enggak di sini?" Andam meletakkan sepotong ayam goreng, sepotong perkedel tahu, dan sepotong bakwan udang ke dalam piring Pak Cakra. Sayur sop menyusul masuk ke mangkuk terpisah.

Andam masih sangat ingat kalau Pak Cakra tidak suka mencampur kuah sayur apa pun ke dalam piringnya. Berbeda dengan wanita itu yang lebih suka mencampur kuah dengan nasi. Justru membiarkan lauk-pauk yang terpisah.

"Suasana makan kurang lengkap kalau enggak ada kamu, Ndam. Enggak ada yang bisa diajak berbincang."

Memang, satu kebiasaan mereka adalah berbincang, entah saat sarapan maupun makan malam. Dua waktu paling intens bagi keduanya untuk saling berbagi cerita.

"Enggak ada yang diajakin berdebat masalah politik negeri ini, sih."

Meja makan mereka memang lebih sering mendengar diskusi sekitaran polemik politik dan ekonomi negeri. Satu dua kali membicarakan kasus-kasus selebriti yang terjerat narkoba atau prostitusi.

Pak Cakra terkekeh setelah menyeruput teh tawar hangat.

"Berarti, Ayah jarang makan di rumah?"

Pak Cakra mengangguk lalu lanjut menyuap. "Lebih sering makan di warteg. Sesekali malah makan di kios."

Andam mengangguk-angguk. "Kios makin rame, ya?"

"Sejak janda bolong naik daun, kios Ayah selalu dipenuhi pelanggan. Sekarang, tanaman hias sedang jadi bintang. Hampir setiap rumah wajib punya beragam tanaman."

Andam menahan senyum. Saat kemarin dirinya melewati area perumahan, tidak satu pun halaman yang kosong melompong. Beragam tanaman menghuni, dari tanaman daun hias sampai yang berbunga. Bahkan beberapa rumah memajang bonsai-bonsai yang Andam tahu harganya tidak cukup satu jutaan.

Leaf LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang