Surat 22

85 18 6
                                    


"Perasaan, aku udah bukan bocah. Ngapain coba ngrusuk-ngrusuk ke kebon orang sepagi ini?" Yodha menatap tak percaya kresek hitam di tangannya. Bahkan kini tatapannya mengarah ke setelan kasual yang dia pakai: jeans dan kemeja yang sudah disetrika amat licin. Merasa salah kostum seketika.

Sebelas dua belas dengan Gema. Pria itu pun tak menyangka jika Andam justru akan mengajak mereka ngebolang. Padahal, otak dewasanya sudah membayangkan tempat atau suasana yang mendukung untuk romantisme.

Inikah kejutan yang Andam bilang? Ke kebun? Cari daun pisang kering? Gema berdecak dalam hati, tak habis pikir.

"Untuk Kanala, tolong kalau ada ular jangan asal comot. Aku enggak mau bertanggung jawab atas kesokingintahuanmu itu." Andam kembali mengingat bagaimana dulu Kanala tak kenal takut dan asal comot apa pun yang dia temukan, entah di kebun atau sawah.

"Tenang, tenang. Aku rajin nontonin channel Panji Petualang dan beberapa pencinta reptil lainnya. Udah bisa bedain mana ular berbisa dan enggak." Untung Kanala memilih setelan jeans pendek selutut dan T-shirt merah cabai bertuliskan Love You No More di bagian depan. Cukup cocok untuk dijadikan kostum ngebolang.

"Ambil daun pisang keringnya aja, ya, Mbak Andam?" Chika sudah mulai menyobeki daun-daun pisang kering. Hanya dengan tangan kosong karena memang mudah.

"Iya, Chik. Yang keringnya aja. Hati-hati melangkah, ya. Lihat-lihat ke bawah pokoknya. Takut ada ular gibuk." Sebenarnya, Andam agak ngeri berada di kebun ini.

Meski tidak begitu luas, tetapi cukup padat isi. Belum lagi warna tanah yang memudahkan beberapa hewan melata berkamuflase. Ya, kalau cuma menemukan ular lanang sapi, sih, tak masalah. Yang dikhawatirkan kalau sampai menginjak dengan tidak sengaja Si Viper Tanah. Andam tak ingin membayangkannya. Maka dari itu, sejak tadi langkahnya sangat hati-hati.

"O, ya. Pakai ini biar enggak dikerubutin nyamuk." Andam menyerahkan sebungkus lotion antinyamuk kepada Chika yang berdiri tidak jauh darinya. "Nanti kasiin ke Mbak Kanala, ya."

"Oke, Mbak." Dengan senang hati, gadis belia itu menerimanya.

Tanpa lotion antinyamuk, mana bisa Andam berlama-lama di kebun. Dia paling tidak tahan dengan gigitan nyamuk.

"Nih, kalian juga pakai." Andam menyerahkan sebungkus lagi kepada Gema dan Yodha yang berada di sisi lain posisinya.

"Bilang, dong, Ndam dari awal kalau cuma mau ke kebon. Kan, aku enggak perlu dandan serapi ini. Tau kemari, aku pake kolor sama singlet aja, deh." Yodha menggerutu, masih tidak terima karena salah kostum.

Andam terkekeh. "Kejutan, dong."

"Au, ah!"

"Kapan lagi ke kebon pakai kostum seciamik itu, 'kan?" Kanala ikut menyahut. Tatapannya menyipit untuk mempertajam penglihatan. Didekatinya semak yang tidak jauh dari pohon pisang tempatnya bertugas. Senyum merekah di wajah manis wanita itu. Dengan sekali sergap, seekor bunglon surai berhasil dia tangkap.

Andam yang mendengar pergerakan Kanala menengok ke arah sang karib. Gelengan menjadi satu-satunya respons atas tingkah Kanala.

"Dapet apa, Mbak?" Chika yang justru penasaran. Gadis itu mendekati posisi Kanala.

"Kalau kata Panji, ini namanya Bronchocela jubata atau biasa disebut bunglon surai. Udah mulai langka, nih, makhluk." Kanala merasa gemas kepada makhluk hijau dalam genggamannya.

"Kenapa bisa langka, Mbak?"

"Habitatnya direbut sama penginvasi."

"Hah?"

Leaf LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang