Surat 35

71 14 0
                                    

(Andam's PoV)
*
*
*

Gema menghentikan sepeda motor tepat di depan pagar. Setelah ini, aku ingin mandi air hangat. Dua hari satu malam mengempaskan diri di jok bus pariwisata bukanlah hal menyenangkan. Pinggang bahkan terasa ingin patah. Belum lagi betis yang serasa membesar seketika karena terlalu banyak duduk dan berjalan mengelilingi Yogyakarta. Ya, meski tidak semua tempat, tetapi cukup membuat lelah, bukan?

"Nanti siang aku ke sini lagi buat ambil oleh-oleh yang di situ." Gema menunjuk tas kain berisi oleh-oleh kami.

Iya, kami. Demi menghemat pengeluaran, kami hanya membeli satu tas kain guna menyimpan oleh-oleh dari Kota Pelajar.

"Okeh. Dah, gih, pulang! Bau, tuh!" Aku menyeringai. Dasar tidak sadar diri! Aromaku pun tidak berbeda jauh dengan Gema.

"Kayak yang ngomong enggak aja." Dia bersungut, tetapi kutahu hanya bercanda. Kepalanya lantas melongok ke belakang tubuhku. "Tumben jam segini masih dibuka jendela rumahmu, Ndam. Semuanya lagi. Pak Cakra lagi beberes?"

"Hah?" Aku buru-buru berbalik. Loh, kok, jendelanya terbuka semua? Eh, terbuka? "Ibu?"

"Apa, Ndam?"

"Ibuku pulang, Gem! Ibuku pulang!" Aku sampai menggoyang-goyang lengan Gema saking bahagianya. Ya Tuhan, kok, Ibu tidak bilang kalau hari ini dia pulang?

"Ya, udah. Sana masuk. Aku pulang, ya?" Deru motor Gema kembali terdengar.

Aku melambaikan tangan seiring kepergian motornya ke arah Gang Purnama IV. Tubuhku segera berbalik, berlari-lari kecil sepanjang jalan setapak yang kanan dan kirinya ditumbuhi bunga soka berselang-seling dengan taiwan beauty. Pom-pom merah, pink, kuning, dan oranye membulat memenuhi setiap pucuk pohon yang tingginya sudah sebetisku. Mungkinkah mereka sengaja mekar bersamaan untuk menyambut kepulangan Ibu?

Aku merangsek tanpa salam. Bahkan saat membuka pintu pun tak sesabar biasanya. Untung tidak terkunci. Tentu saja tidak akan terkunci karena Ibu--mungkin juga Ayah--berada di rumah. Mereka akan membiarkan pintu utama tak terkunci meski sepanjang hari menghabiskan momen hanya di dalam kamar.

Aroma roti bakar menyeruak rongga dada saat aku masuk dan meletakkan begita saja ransel dan tas kain berisi oleh-oleh di lantai ruang tamu. Buru-buru menghampiri dapur karena sudah pasti beliau di sana.

"Loh, An--"

Aku mengabaikan teguran Ayah dan langsung masuk ke dapur. Segera memeluk penuh rindu perempuan dengan celemek yang menghadap kompor.

"Hm hm hm, siapa ini yang main peluk-peluk Ibu, ya? Hm, kok, baunya asem begini, ya?" Ibu tak berbalik. Tangannya masih sibuk mengaduk-aduk kuali.

"Andam kangen Ibu." Kulesakkan dalam-dalam kepala ke punggungnya yang terasa lebih tandas. Apa Ibu kurusan?

***

Makan siang ini sangat spesial. Semua hidangan yang tersaji di atas meja makan merupakan buah karya Ibu Marlian, ibuku yang paling cantik. Wajahnya kombinasi Belanda-Jawa-Cina. Itu kenapa wajahku pun tidak murni wajah gadis Jawa pada umumnya. Mata sipit dan hidung bangir yang terpahat di wajah ini langsung diturunkan dari Ibu. Meski mimik, kata orang, lebih ke Pak Cakra. Jika aku tersenyum, mereka akan melihat perpaduan Marlian dan Cakra di satu wajah.

"Pokoknya, jangan ada yang bantu Ibu. Enggak Pak Cakra, enggak Andam. Biar Ibu berjibaku sendiri siang ini khusus untuk kalian." Sambil mengacung-acungkan spatula lalu mengedipkan sebelah mata, Ibu memperingati kami.

Jadilah sepanjang menunggu makan siang tersaji, aku dan Ayah hanya duduk-duduk menghadap meja makan.

"Itu tas enggak dibongkar?" Ayah, dengan tatapannya, menunjuk tote bag kain yang kugeletakkan begitu saja di salah satu kursi makan.

Leaf LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang